Selasa, 22 November 2011

BERCOCOK TANAM ILMU

Ini obrolan soal kebudayaan dan atau peradaban, yang sumbernya adalah ilmu.

Istilah budaya dan culture (di-Indonesiakan menjadi kultur) mempunyai pengertian asal yang persis sama, dan berbasis perkebunan, yaitu pembiakan tumbuhan (bisa juga hewan).
Pengertian ini masih terpakai misalnya, dalam istilah budidaya, yang berarti penyelenggaraan perkebunan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Istilah holtikultura juga digunakan untuk menyebut kiat atau ilmu bercocok-tanam.

Sedangkan civilization, agaknya lebih berbasis “kota”. Civil artinya penduduk atau warga negara yang bukan militer (angkatan bersenjata), tetapi bisa juga berarti sopan atau terpelajar.
Kata civilization agaknya mengacu pada pengertian yang kedua, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi peradaban.

Istilah peradaban jelas diambil dari bahasa Arab, aduba, yang artinya sopan, terpelajar.
Dalam sebuah Hadits digunakan kata ta’dib dalam arti pendidikan (addabani rabbi fa-ahsana ta’dibi).

Bila kita kiaskan pada kegiatan pertanian, pendidikan pada hakikatnya adalah kegiatan “bercocok-tanam ilmu.”
Bila kaum naturalis mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari akal, berarti mereka menganggap bahwa tumbuhan berasal dari kebun, atau padi berasal dari sawah.

Ini adalah cara berpikir anak kecil, yang menilai segala sesuatu berdasar apa yang terlihat di permukaan.
Tetapi setelah masuk sekolah, si anak tahu bahwa asal suatu tumbuhan adalah benih.
Benih dikembangkan-biakkan di kebun.
Anehnya, setelah lulus perguruan tinggi, menjadi profesor dan doktor, si anak Adam ini masih juga mengatakan bahwa asal kebudayaan adalah akal.
Kebudayaan adalah hasil kreasi manusia.
Bukan kah ini berarti si profesor bego itu mengatakan bahwa benih jagung adalah ciptaan manusia?
Bila ia mengakui benih tumbuhan, hewan dan manusia adalah ciptaan Tuhan, seharusnya diakuinya pula bahwa ilmu berasal dari Tuhan, dan dengan demikian secara otomatis kebudayaan pun berasal dari Tuhan. 

Tetapi bila demikian, peran Iblis dimana?
Akhirnya memang terserah kita.
Hendak membiarkan Iblis sibuk dan menganggur, atau sebaliknya? 
Bila ingin sebaliknya, mulailah bersibuk diri dengan membudidayakan ilmu seperti halnya membudidayakan tanaman di kebun.

Pembudidayaan tanaman dimulai dengan pemilihan jenis.
Pemilihan jenis dilakukan dengan mempertimbangkan hasil akhir yang hendak dicapai atau diinginkan.
Pertimbangan seperti ini  juga harus dilakukan dalam pembudidayaan ilmu.

Di atas sudah tergambar bahwa ilmu adalah benaih kebudayaan.
Selanjutnya, ilmu apakah yang hendak kita tumbuh-kembangkan?
Ilmu idealis-naturalis atau ilmu yang bersumber dari Allah?
Apakah hasil akhirnya bila salah satu dari ilmu-ilmu itu dipilih?

Dalam Surat al-Ankabuut 29:41, kita temukan gambaran bahwa perumpamaan orang-orang yang “membudidayakan” ajaran yang tidak berasal dari Allah adalah seperti laba-laba membuat sarangnya.
Ditegaskan Allah bahwa serapuh-rapuhnya sarang adalah sarang laba-laba.
Tapi orang-orang kafir itu rupanya tidak tahu.
Bukan tidak tahu bahwa sarang laba-laba rapuh, tetapi tidak tahu bahwa ilmu yang mereka kembangkan itulah yang sangat rapuh.
Jadi ilmu yang layak dibudidayakan adalah ilmu Allah.

Setelah jelas jenis ilmu yang hendak dipilih, lalu lokasi penanamannya di mana?
Tentu saja dalam otak, bukan dalam khayalan.
Sebab ilmu memang tidak bisa tumbuh dalam khayalan.
Kemudian setelah jenis dan lokasinya pasti, maka perlu dipastikan pula pemilihan metode yang benar untuk kepentingan tersebut.

Sebab, setiap ilmu memiliki metode tersendiri.
Kesalahan memilih dan menggunakan metode pasti membuat ilmu menjadi mandul, tumbuh dengan cacat atau bahkan tidak tumbuh smasekali.
suber:
Ilmu Allah

Tidak ada komentar: