Setiap tahun isra’ mikraj diperingati, dalam peringatan tersebut
tidak lupa disertai dengan bermacam kegiatan, mulai dengan ceramah
dimasjid-masjid yang mengisahkan perjalanan agung Nabi Muhammad SAW, disertai
juga dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam,
bahkan juga sudah dijadikan hari libur Nasional. Melihat dari kegiatan itu
menunujukan begitu rindunya kita agar ajaran islam itu masuk kedalam sendi-sendi
kehidupan, orang mencoba mengambil pelajaran dari kisah Isra’ mikraj. Sejarah telah mencatat Nabi Muhammad Saw, pada
peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi
umat Islam karena dalam peristiwa ini didapat perintah untuk melakukan sholat
yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam.
Namun, walau demikian sebagian kecil saja kita yang berusaha
meneladani Isra’ Mikraj sehingga hadist yang menyatakan bahwa shalat itu
mikrajnya orang mukmin, hanya dilirik sambil lalu.
Isra’ dan mikraj memang tidak bisa dipisahkan, tidak ada mikraj
bila tak ada isra’. Isra pun bukan suatu proses perjalanan yang berhenti ditengah
jalan. Isra dilalui justru untuk mikraj. Shalat kita tidak akan bisa menjadi
mikraj bila kita tidak melakukan Isra dalam kehidupan. Apa arti Isra? Para
mubalig biasanya memberikan penjelasan secara harfiah. Yaitu, perjalanan di
malam hari dari Masjid al- Haram di Mekah
menuju masjid Al-Aqsha yang ada di Darusalem, dan
Mi’raj berarti naik ke langit. Dalam sebuah hadist, tempat yang diduduki Nabi Muhammad
pada malam terjadinnya isra mikraj itu masih hangat. Menurut Achmad Chodjim,(2005),
itu artinya, Isra Mikraj merupakan perjalanan spritual. Dalam perjalanan
spritual, roh tidak perlu keluar dari tubuh. Mengapa? karena hakikat dari roh
itu adalah roh-nya bebas dari kurungan ruangan dan waktu. Dan diawal
perjalanan, hati Nabi Muhammad dibersihkan oleh jibril, itu artinya penyucian
hati. Achmad Chodjim, melanjutkan, Isra adalah perjalanan malam. Perjalanan
untuk melakukan pencarian. Dan, pencarian itu dilakukan di malam yang gelap
gulita. Ini simbolik, yakni malam adalah simbol kegelapan. Pada hakekatnya manusia yang hidup di dunia
ini dalam kegelapan. Disebut dalam kegelapan kerena sebagian besar manusia tidak mengetahui kemana arah yang
dituju dalam hidup ini. Paling-paling hanya untuk menunggu kematian, apakah
kalau suda mati menjadi tahu? Tentu saja tidak, sebagaimana yang di jelaskan
dalam Al-Qur’an surat 17 ayat 72, barang siapa yang buta (mata hatinya) di
dunia ini niscaya dalam kehidupan nanti (akhirat) akan lebih buta lagi, dan
lebih tersesat dari jalan yang benar. Jelas sudah, kalau kita sekarang tidak
tahu arah yang dituju, apa lagi nanti. Kalau batin kita sekarang tidak dapat
melihat makna hidup, maka jangan harapkan dalam kehidupan yang akan datang kita
bisa mengetahuinya. Agar terbuka mata batin kita, maka kita harus melakukan
Isra dan mikraj. Bagaimana cara melakukannya?
Dalam kisah menjelang isra’ mikraj nabi di datangi tiga malaikat,
dan malaikat jibril yang bertanggung jawab untuk pembedahan hati Nabi Muhammad.
Hatinya diangkat dan dicuci bersih dengan air zam-zam. Maka langkah pertama
yang harus kita lakukan adalah penyucian hati. Dalam bahasa kalangan tarekat,
upaya ini disebut takhalli. Mengosongkan hati dari berbagai sifat yang
buruk, sifat yng mendatangkan kerusakan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya yakni. Sifat kezaliman, sifat-sifat yang menutupi kita dalam
melihat kebenaran seperti: dengki, tamak, sombong, dan tirani.
Dengki adalah sifat manusia yang amat berbahaya, dengki disebut
juga iri hati. Iri hati adalah sikap tidak bisa menerima orang lain memperoleh
keberuntungan. Sementara tamak, sikap tidak puas yang berlebihan terhadap apa
yang dimiliki, disebut juga dengan serakah. Akhlak orang yang telah mengalami pencerahan akan
semakin baik. Tidak ada lagi dengki dan iri hati, semua manusia adalah saudara,
makan daging seperlunya, sehingga aktivitas raga untuk membangaun umat masih
tersedia. Hewan dan tumbuhan dibunuh hanya untuk diambil manfaatnya, hewan dan
tumbuhan dibunuh bukan untuk memenuhi ketamakan manusia, bukan untuk ambisi dan keserakahan. Bagi orang yang
tercerahkan, satu pohon ditebang dan satu pohon baru dipersiapkan sebagai
penggantinya, ada penebangan pohon untuk kesejahteraan manusia. Tapi, juga ada
reboisasi untuk kesejahteraan manusia. Tidak seperti dewasa ini, hutan
ditebangi tampa pertanggungjawaban. Sungai dicemari tampa rasa bersalah, penambangan seamakin menjadi-jadi. Kekuasaan
diperebutkan dengan melanggar hak hidup, melangggar batas-batas yang telah
ditetapkan tuhan. Mengingkari kebenaran, menindas banyak orang, ini
menujukankan tokoh-tokoh kita belum tercerahkan.
Apabila tamak dan dengki bisa bersinergi, bergabung untuk
menghasilkan kerusakan yang amat dahsyat. Orang yang tamak ingin mendapatkan
lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain. Orang dengki tidak bisa
menerima keberuntungan orang lain, nah kalau tamak dan dengki ada pada
seseorang maka terciptalah usaha untuk memiliki yang lebih banyak dan
menghancurkan orang lain. Hutan dieksploitasi tampa mengindahkan satwa yang
berlindung di dalamnya. Tampa memperdulikan orang yang tingggal di sekitarnya.
Dengan isra mikraj itu Nabi Muhammad telah melakukan terobosan
spritual, tentunya harus diteladani oleh
umatnya. bukan hanya untuk di kagumi saja, tapi kita harus berusaha bersikan hati kita dari
sifat tercela. Inilah perjalanan spritual yang harus kita teladani. Penyatuan
hati dan pikiran merupakan perjalanan isra’, dan hal ini tidak gampang, karena
untuk menyatukan keduanya seorang harus melakukan perjuangan keras. Kesantunan
dan kelembutan telah dilakoni, dijalani untuk menegakan islam. Untuk mewujudkan
kehidupan bersama yang penuh kedamaian. Hidup dalam sebuah tatanan masyarakat
yang berserah diri kepada Allah. Bukan kehidupan yang diwarnai ambisi dan
kepentingan golongan atau kesukuan. Dengan isra’ diharapkan akan terwujudnya
tatanan masyarakat yang dilandasi iman. Itulah sebabnya penerimaan peristiwa
isra membutuhkan iman sebagaiamana yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Shiddiq.
Dengan landasan hidup yang islami dan imani akan tercipta masyarakat yang
“aman, amanat, amin”.
Masayarakat yang aman adalah masyarakat yang bebas dari gangguan,
masyarakat yang bebas dari bahaya yang mengancam. Jika masyarakat itu berada
dalam kekuasaan negara, maka msayarakat yang hidup didalamnya akan bebas dari
gangguan penjahat maupun tekanan pemerintahnya.
Salah satu ciri masyarakat atau negara aman ialah setiap warganya
dapat memikul tanggungjawab yang diembannya untuk kehidupan bersama. Setiap
warga yang memperoleh pendapatan kena pajak, rakyat, pegawai negeri atau
pejabat akan membayar pajak dengan benar. Pegawai pajak akan menarik secara
benar pula. Tidak ada pat-pat gulipat dalam penarikan pajak. Pemerintah
mempergunkan pajak dengan benar, dan tidak ada yang masuk kekantong pribadi.
Untuk apa pajak? Ringkasnya, untuk membangun kesejahteraan negeri, yaitu untuk
kesejahteraan warga dan negaranya. Bila setiap warga sudah mampu memikul
amanat, maka tahap berikutnya akan diperoleh adalah masyarakat “amin” yaitu,
msayarakat yang tercapai cita-citanya. Bagi bangsa indonesia, yang disebut
masyarakat amin adalah masyarakat yang adil dan makmur.
Mikraj adalah naik kelangit untuk menjemput perintah shalat, Rasulullah
SAW menerangkan bahwa sesungguhnya sholat itu mi’rajul mukminin. Nah jika kita
pelajari hadist ini, shalat merupakan ibadah yang merupakan pengabdian manusia
kepada tuhan sacara lansung. Sholat itu alat naik (tangga) untuk (meningkatkan
belajar Al Qur’annya) bagi para mukmin yang sedang melaksanakan perintah
rattilil Qur’an. Sholat untuk peningkatan kualitas (mutu) ruhani. Kualitas
(mutu) ruhani seseorang tak terlihat akan tetapi sangat penting bahkan
menentukan. Kondisi inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia
yang punya mata, telinga dan hati tetapi tidak pernah digunakan untuk memahami
ayat-ayat Allah dinyatakan nyaris seperti ternak. Manusia yang tabiatnya adalah
makhalul khata’ wa nisyan (tempatnya salah dan lupa) sangat memerlukan shalat.
Mengapa? Karena shalat merupakan wahana agar manusia kembali insyaf (sadar)
tentang tugas kemakhlukkannya yaitu hidup itu untuk mengabdi kepada Allah. Shalat
juga merupakan jalan agar kesadaran hidup dengan ajaran Allah agar tetap
menyala, sehingga manusia menjadi makhluk yang bisa insyaf Dengan shalat,
ruhani manusia senantiasa terasah sehingga hati menjadi peka dan akhirnya
muncul sifat akhlakul karimah. Dalam shalat banyak nilai-nilai filosofis yang
didalamnya mengajarkan manusia melakukan taransformasi sosial secarah utuh,
artinya rangkaian ritual yang dilakukan seorang hamba dalam shalat mengandung
makna sosial yang sangat tinggi. Bahkan secara tegas dinyatakan Allah dalam
firmanya, bahwa shalat itu mencegah perbutan keji dan mungkar (Qs. Al-ankabut
ayat 45).
Spritual shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, menjadi
titik tertinggi dari shalat, sebab makna spritual shalat tidak saja terletak
pada proses ritual pengabdian dalam shalat, tetapi juga sangat penting adalah
makna sosial dari ibadah shalat. Pemaknaan mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar merupakan bahasa lain dari terciptanya masyarakat madani, karena
apabila masyarakat semuanya tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar berarti
tindakan yang mereka lakukan adalah sebaliknya, yakni, perbuatan yang makruf
(kebaikan). Ketika masyarakat semuanya melakukan perbuatan makruf berarti
tercipta tatanan kehidupan yang damai dan mensejahterakan.
Catatan : Tulisan ini pernah di terbitkan di media Cetak (Haluan Kepri 2013)
Catatan : Tulisan ini pernah di terbitkan di media Cetak (Haluan Kepri 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar