Selasa, 11 Juni 2013

ISRA MI'RAJ, PERBAIKAN JIWA DAN BANGSA



Setiap tahun isra’ mikraj diperingati, dalam peringatan tersebut tidak lupa disertai dengan bermacam kegiatan, mulai dengan ceramah dimasjid-masjid yang mengisahkan perjalanan agung Nabi Muhammad SAW, disertai juga dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam, bahkan juga sudah dijadikan hari libur Nasional. Melihat dari kegiatan itu menunujukan begitu rindunya kita agar ajaran islam itu masuk kedalam sendi-sendi kehidupan, orang mencoba mengambil pelajaran dari kisah Isra’ mikraj.  Sejarah telah mencatat Nabi Muhammad Saw, pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan suatu peristiwa yang sangat penting bagi umat Islam karena dalam peristiwa ini didapat perintah untuk melakukan sholat yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam.
Namun, walau demikian  sebagian kecil saja kita yang berusaha meneladani Isra’ Mikraj sehingga hadist yang menyatakan bahwa shalat itu mikrajnya orang mukmin, hanya dilirik sambil lalu.


Isra’ dan mikraj memang tidak bisa dipisahkan, tidak ada mikraj bila tak ada isra’. Isra pun bukan suatu proses perjalanan yang berhenti ditengah jalan. Isra dilalui justru untuk mikraj. Shalat kita tidak akan bisa menjadi mikraj bila kita tidak melakukan Isra dalam kehidupan. Apa arti Isra? Para mubalig biasanya memberikan penjelasan secara harfiah. Yaitu, perjalanan di malam  hari dari Masjid al- Haram di Mekah menuju masjid Al-Aqsha yang ada di Darusalem, dan Mi’raj berarti naik ke langit. Dalam  sebuah hadist, tempat yang diduduki Nabi Muhammad pada malam terjadinnya isra mikraj itu masih hangat. Menurut Achmad Chodjim,(2005), itu artinya, Isra Mikraj merupakan perjalanan spritual. Dalam perjalanan spritual, roh tidak perlu keluar dari tubuh. Mengapa? karena hakikat dari roh itu adalah roh-nya bebas dari kurungan ruangan dan waktu. Dan diawal perjalanan, hati Nabi Muhammad dibersihkan oleh jibril, itu artinya penyucian hati. Achmad Chodjim, melanjutkan, Isra adalah perjalanan malam. Perjalanan untuk melakukan pencarian. Dan, pencarian itu dilakukan di malam yang gelap gulita. Ini simbolik, yakni malam adalah simbol kegelapan.  Pada hakekatnya manusia yang hidup di dunia ini dalam kegelapan. Disebut dalam kegelapan kerena sebagian besar  manusia tidak mengetahui kemana arah yang dituju dalam hidup ini. Paling-paling hanya untuk menunggu kematian, apakah kalau suda mati menjadi tahu? Tentu saja tidak, sebagaimana yang di jelaskan dalam Al-Qur’an surat 17 ayat 72, barang siapa yang buta (mata hatinya) di dunia ini niscaya dalam kehidupan nanti (akhirat) akan lebih buta lagi, dan lebih tersesat dari jalan yang benar. Jelas sudah, kalau kita sekarang tidak tahu arah yang dituju, apa lagi nanti. Kalau batin kita sekarang tidak dapat melihat makna hidup, maka jangan harapkan dalam kehidupan yang akan datang kita bisa mengetahuinya. Agar terbuka mata batin kita, maka kita harus melakukan Isra dan mikraj. Bagaimana cara melakukannya?

Dalam kisah menjelang isra’ mikraj nabi di datangi tiga malaikat, dan malaikat jibril yang bertanggung jawab untuk pembedahan hati Nabi Muhammad. Hatinya diangkat dan dicuci bersih dengan air zam-zam. Maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah penyucian hati. Dalam bahasa kalangan tarekat, upaya ini disebut takhalli. Mengosongkan hati dari berbagai sifat yang buruk, sifat yng mendatangkan kerusakan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungannya yakni. Sifat kezaliman, sifat-sifat yang menutupi kita dalam melihat kebenaran seperti: dengki, tamak, sombong, dan tirani. 


Dengki adalah sifat manusia yang amat berbahaya, dengki disebut juga iri hati. Iri hati adalah sikap tidak bisa menerima orang lain memperoleh keberuntungan. Sementara tamak, sikap tidak puas yang berlebihan terhadap apa yang dimiliki, disebut juga dengan serakah.  Akhlak orang yang telah mengalami pencerahan akan semakin baik. Tidak ada lagi dengki dan iri hati, semua manusia adalah saudara, makan daging seperlunya, sehingga aktivitas raga untuk membangaun umat masih tersedia. Hewan dan tumbuhan dibunuh hanya untuk diambil manfaatnya, hewan dan tumbuhan dibunuh bukan untuk memenuhi ketamakan manusia, bukan  untuk ambisi dan keserakahan. Bagi orang yang tercerahkan, satu pohon ditebang dan satu pohon baru dipersiapkan sebagai penggantinya, ada penebangan pohon untuk kesejahteraan manusia. Tapi, juga ada reboisasi untuk kesejahteraan manusia. Tidak seperti dewasa ini, hutan ditebangi tampa pertanggungjawaban. Sungai dicemari tampa rasa bersalah,  penambangan seamakin menjadi-jadi. Kekuasaan diperebutkan dengan melanggar hak hidup, melangggar batas-batas yang telah ditetapkan tuhan. Mengingkari kebenaran, menindas banyak orang, ini menujukankan tokoh-tokoh kita belum tercerahkan. 


Apabila tamak dan dengki bisa bersinergi, bergabung untuk menghasilkan kerusakan yang amat dahsyat. Orang yang tamak ingin mendapatkan lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain. Orang dengki tidak bisa menerima keberuntungan orang lain, nah kalau tamak dan dengki ada pada seseorang maka terciptalah usaha untuk memiliki yang lebih banyak dan menghancurkan orang lain. Hutan dieksploitasi tampa mengindahkan satwa yang berlindung di dalamnya. Tampa memperdulikan orang yang tingggal di sekitarnya.

Dengan isra mikraj itu Nabi Muhammad telah melakukan terobosan spritual,  tentunya harus diteladani oleh umatnya. bukan hanya untuk di kagumi saja, tapi  kita harus berusaha bersikan hati kita dari sifat tercela. Inilah perjalanan spritual yang harus kita teladani. Penyatuan hati dan pikiran merupakan perjalanan isra’, dan hal ini tidak gampang, karena untuk menyatukan keduanya seorang harus melakukan perjuangan keras. Kesantunan dan kelembutan telah dilakoni, dijalani untuk menegakan islam. Untuk mewujudkan kehidupan bersama yang penuh kedamaian. Hidup dalam sebuah tatanan masyarakat yang berserah diri kepada Allah. Bukan kehidupan yang diwarnai ambisi dan kepentingan golongan atau kesukuan. Dengan isra’ diharapkan akan terwujudnya tatanan masyarakat yang dilandasi iman. Itulah sebabnya penerimaan peristiwa isra membutuhkan iman sebagaiamana yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Shiddiq. Dengan landasan hidup yang islami dan imani akan tercipta masyarakat yang “aman, amanat, amin”.


Masayarakat yang aman adalah masyarakat yang bebas dari gangguan, masyarakat yang bebas dari bahaya yang mengancam. Jika masyarakat itu berada dalam kekuasaan negara, maka msayarakat yang hidup didalamnya akan bebas dari gangguan penjahat maupun tekanan pemerintahnya.

Salah satu ciri masyarakat atau negara aman ialah setiap warganya dapat memikul tanggungjawab yang diembannya untuk kehidupan bersama. Setiap warga yang memperoleh pendapatan kena pajak, rakyat, pegawai negeri atau pejabat akan membayar pajak dengan benar. Pegawai pajak akan menarik secara benar pula. Tidak ada pat-pat gulipat dalam penarikan pajak. Pemerintah mempergunkan pajak dengan benar, dan tidak ada yang masuk kekantong pribadi. Untuk apa pajak? Ringkasnya, untuk membangun kesejahteraan negeri, yaitu untuk kesejahteraan warga dan negaranya. Bila setiap warga sudah mampu memikul amanat, maka tahap berikutnya akan diperoleh adalah masyarakat “amin” yaitu, msayarakat yang tercapai cita-citanya. Bagi bangsa indonesia, yang disebut masyarakat amin adalah masyarakat yang adil dan makmur.

Mikraj adalah naik kelangit untuk menjemput perintah shalat, Rasulullah SAW menerangkan bahwa sesungguhnya sholat itu mi’rajul mukminin. Nah jika kita pelajari hadist ini, shalat merupakan ibadah yang merupakan pengabdian manusia kepada tuhan sacara lansung. Sholat itu alat naik (tangga) untuk (meningkatkan belajar Al Qur’annya) bagi para mukmin yang sedang melaksanakan perintah rattilil Qur’an. Sholat untuk peningkatan kualitas (mutu) ruhani. Kualitas (mutu) ruhani seseorang tak terlihat akan tetapi sangat penting bahkan menentukan. Kondisi inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia yang punya mata, telinga dan hati tetapi tidak pernah digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dinyatakan nyaris seperti ternak. Manusia yang tabiatnya adalah makhalul khata’ wa nisyan (tempatnya salah dan lupa) sangat memerlukan shalat. Mengapa? Karena shalat merupakan wahana agar manusia kembali insyaf (sadar) tentang tugas kemakhlukkannya yaitu hidup itu untuk mengabdi kepada Allah. Shalat juga merupakan jalan agar kesadaran hidup dengan ajaran Allah agar tetap menyala, sehingga manusia menjadi makhluk yang bisa insyaf Dengan shalat, ruhani manusia senantiasa terasah sehingga hati menjadi peka dan akhirnya muncul sifat akhlakul karimah. Dalam shalat banyak nilai-nilai filosofis yang didalamnya mengajarkan manusia melakukan taransformasi sosial secarah utuh, artinya rangkaian ritual yang dilakukan seorang hamba dalam shalat mengandung makna sosial yang sangat tinggi. Bahkan secara tegas dinyatakan Allah dalam firmanya, bahwa shalat itu mencegah perbutan keji dan mungkar (Qs. Al-ankabut ayat 45).


Spritual shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, menjadi titik tertinggi dari shalat, sebab makna spritual shalat tidak saja terletak pada proses ritual pengabdian dalam shalat, tetapi juga sangat penting adalah makna sosial dari ibadah shalat. Pemaknaan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar merupakan bahasa lain dari terciptanya masyarakat madani, karena apabila masyarakat semuanya tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar berarti tindakan yang mereka lakukan adalah sebaliknya, yakni, perbuatan yang makruf (kebaikan). Ketika masyarakat semuanya melakukan perbuatan makruf berarti tercipta tatanan kehidupan yang damai dan mensejahterakan.

Catatan : Tulisan ini pernah di terbitkan di media Cetak (Haluan Kepri 2013)



Tidak ada komentar: