Kebanyakan manusia sudah terbius oleh dalil yang mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat relatif”, yakni tergantung pada siapa yang mengatakan dan mempercayainya. Dengan kata lain, kebenaran itu menjadi tergantung pada kepercayaan, atau bahkan selera, sehingga nilainya menjadi subyektif (tergantung orang). Padahal, seharusnya kebenaran itu bersifat obyektif, apa adanya, sesuai dengan fakta yang telanjang (asli).
Seharusnya dalil itu difahami dengan cermat!
Relatif (Ing.: relative) adalah kata sifat. Kata bendanya adalah relasi (relation). Dalam bahasa aslinya, yang biasa kita sebut relatif itu adalah relative to, yang artinya sama dengan referring to (merujuk kepada; menghubungkan dengan).
Jadi, bila kita mengatakan bahwa “kebenaran itu relatif”, maksudnya adalah “kebenaran itu tergantung pada rujukannya atau sumbernya.” Bila sumbernya orang, maka orang itulah yang menjadi penentu. Bila sumbernya sebuah buku (yang sebenarnya juga ditulis orang), maka buku itulah yang menjadi penentu. Kita yang mendengar kata orang, atau membaca sebuah buku, boleh membenarkan (mempercayai), boleh juga tidak membenarkan (= menyalahkan). Kedua pilihan itu (membenarkan atau menyalahkan) adalah benar (= sah), karena kebenaran itu tergantung pada (subyektif/selera) kita.