Era globalisasi dapat dipahami
sebagai suatu keadaan yang di tandai oleh adanya penyatuan politik, Ekonomi,
social, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, Informasi, dan lain sebagainya,
yang terjadi diantara satu Negara dengan Negara lainnya, Tampa menghilangkan Identitas Negara
masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan Teknoligi Informasi (TI)
yang dapat menghubungkan Atau mengkomonikasikan setiap isu yang ada pada suatu
Negara dengan Negara lain. Bagi umat Islam, Era globalisasi dalam arti menjalin
hubungan, tukar menukar,dan tranmisi ilmu pengetahuan, budaya dan sebagainya
sesungguhnya bukan hal baru, Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi umat Islam
merupakan hal biasa. Pada zaman klasik (abad ke- 6 s/d 13 M) umat Islam telah
membangun hubungan dan komunikasi yang intens serta
Efektif dengan berbagai
pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, Cina,
Persia, Romawi, dan Yunani. hasil dari komunikasi ini umat Islam telah mencapai
kejayaan, bukan hanya dalam ilmu agama Islam, melainkan dalam bidang ilmu
pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban yang warisannya masih dapat dijumpai
sampai saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia serta Turki.
Selanjutnya, pada zaman pertengahan (abad
ke- 13 hingga 18 M ), umat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat.
saat itu, umat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat.
beberapa penulis barat, misalnya WC Smith dan Thomas W Arnold, mengakui bahwa
kemajuan yang di capai dunia Eropa dan barat saat ini karena sumbangan dari
kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan peradaban Islam tampa harus menjadi orang
Islam. Pada zaman pertengahan itu, Umat Islam hanya mementingkan ilmu Agama saja.
Sementara itu, ilmu pengetahuan, seperti Matematika, Astronomi, Soisologi, dan
Kedokteran tidak di pentingkan. Bahkan
dibiarkan untuk diambil oleh Eropa dan Barat. Pada zaman ini, Eropa dan Barat
mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara uamt Islam berada dalam keterbelakangan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada zaman modern ( abad ke 19
sampai dengan sekaramg), hubungan Islam dengan dunia Eropa dan Barat terjadi
lagi. Di zaman ini timbul kesadaran dari umat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan,
pengkajian dan penelitian. Umat islam mulai mempelajari kembali berbagai
kemajuan yang di capai oleh Eropa dan Barat, dengan alasan bahwa apa yang
dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang
dahulu dimiliki umat Islam. Namun demikian hubungan Islam dengan Eropa dan
Barat, sekarang keadaanya sudah jauh berbeda dengan hubungan Islam pada zaman
klasik dan pertengahan sebagaimana tersebut diatas. Di zaman klasik dan
pertengahan, Umat Islam dalam keadaan maju atau hampir menurun, Sedangkan keadaan
Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang atau mulai bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada
dalam kemajuan, sedangkan keadaan umat Islam berada dalam ketertinggalan. tidak
hanya itu, keadaan dunia saat ini telah di penuhi oleh berbagai paham Ideologi
yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, Seperti ideologi Kapitalisme,
Materialisme, Naturalisme, Pragmatisme Liberalisme bahkan Ateisme yang secara
keseluruhan hanya berpusat pada kemauan manusia ( anthropocentris ). Hal ini
bebeda dengan karekteristik keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara
berpusat pada manusia ( anthropocentris ) dan berpusat pada tuhan (thocentris).
TANTANGAN
Tantangan
pendidikan Islam saat ini sangat jauh berbeda dengan tantangan pendidikan
Islam, sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. secara
internal maupun eksternal, tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan
pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan idiologis lebih mudah
diatasi. secara internal, umat Islam pada saman klasik masih fresh (segar),
masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam masih dekat, serta semangat
militansi dalam berjuang memajukan ajaran Islam masih amat kuat. Sedangkan
secara eksternal, umat Islam belum menghadapi ancaman yang
serius dari Negara-Negara lain. Mengingat keadaan Negara-negara lain (Eropa dan
Barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang. tantangan pendidikan Islam
di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideology-ideologi besar dunia
sebagaimana tersebut di atas, juga di hadapi berbagai kecendrunganyang tak
ubahnya seperti badai besar(turbulance) atau tsunami. menurut Daniel Bell, di era globalisasi saat ini,
keadaan dunia ditandai oleh lima kecendrungan sebagai berikut: Pertama,
Kecendrungan integrasi ekonomi
yang menyebabkan terjadianya persaingan
bebas dalam dunia pendidikan, karena dunia pendidikan menurut mereka juga
termasuk yang di perdagangkan maka
dunia pendidikan saat ini juga di hadapakn pada logika bisnis penyelenggaraan
pendidikan saat ini tidak hanya di tujukan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan
manusia atau mencetak manusia yang soleh, melainkan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang economic minded, dan penyelenggarannya untuk mendapatkan keuntungan material yang
sebesar -besarnya. Kedua, Kecenderungan Fragmentasi politik yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. Ketiga, kecendrungan
menggunakan teknologi tinggi (high technologie) khususnya teknologi komunikasi
dan informasi (TKI), sperti computer. kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya
tuntutan dari masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih cepat , trasparan, juga tidak dibatasi waktu dan
tempat. sementara itu, peran dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi
semacam Fasilitator, Kasilitator, Motivator, dan Dinamisator. Keempat, kecendrungan
interdepedensi (kesaling ketergantungan) yaitu suatu keadaan dimana seseorang
baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain.berbagai
siasat dan strategi yang di lakukan Negara-negara maju untuk membuat Negara
Negara berkembang tergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif.
berbagai kebijakan hegemoni politik, misalnya yang dilakukan amerika sarikat,
tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan Negara sekutunya. ketergantungan ini juga terjadi di
dunia pendidikan. Kelima, Kecendrungan
munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization In culture)
yang mengakibatkan terjadinya pola pikir (idmindset) masyarakat pengguna pendidikan,
yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan
intelktual, moral, fisik, dan fisikisnya, berubah menjadi belajar untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar. saat ini, sebelum seseorang
belajar atau masuk kuliah, misalanya, terlebih dahulu bertanya, “Nanti setelah
lulus menjadi apa? dan, Berapa gajinya?”
Program-
program study yang tidak dapat menjawab pertanyaan
tersebut baik secara lansung maupun tidak lansung, dengan sndirinya akan
terpinggirkan atau tidak diminati. sedangkan program- program study yang
menawarkan pekerjaan dan penghasilan yang bagi lulusannya, akan sangat
diminati. tidak hanya itu, kecendrungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan
juga telah menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu buday yang
srba hedonistic, materialistic, rasional, ingin serba cepat, pragtis, pragmatis,
dan instans. Kecendrungan budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang
bersifat normative dan
menjanjikan masa depan yang baik (di akhirat) kurang diminati. mereka menuntut
ajaran agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya urban. dalam keadaan
demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama yang disajikan secara normative dan
konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan zaman. Keadaan ini
mengharuskan para guru atau ahli agama
untuk melakukan reformulasi, reaktualisasi, dan kontekstualisasi terhadap
ajaran agama sehingga sehingga ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan transformative
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Pendidikan
islam dengan beragam system dan tingkatannya dari waktu kewaktu senantiasa
mengalami tantangan. Berbagai kemajuan dan ketertinggalan pendidikan Islam seperti
yang terdapat dalam sejarah, antara lain, di sebabkan kemampuannya dalam
menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Tantang yang hadapi pendidikan Islam
saat ini jauh lebih berat dibandingkan tantangan yang dihadapi pendidikan Islam
dimasa lalu. Era globalisasi dengan berbagai kecendrungannya sebagaimana
tersebut di atas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam dunia
pendidikan. visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar-mengajar, pedidik,
peserta didik, manajemen, sarana
prasarana, kelembagaan pendidikan dan lainnya kini tengah mengalami perubahan
besar. Pendidikan Islam dengan pengelamannya
yang panjang seharusnya dapat memberikan jawaban yang tepat atas
berbagai tantangan tersebut, untuk mejawab pertanyaan ini, pendidikan Islam membutuhkan
sumber daya manusia yang handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi,
manajemen yang berbasis system dan infrasruktur yang kuat, sumber dana yang
memadai, kemauan politik
yang kuat, serta
standar yang unggul. Untuk dapat melakukan tugas tersebut, pendidikan Islam membutuhkan
unit penelitian dan pengembangan (research and development) yang terus berusaha meningkatkan dan
mengembangkan pendidikan Islam. Sebagai
bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat dalam hal
moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan keimanan dan
akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia …”.
Menurut penulis, ada dua cara
mendasar yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan PAI di sekolah. Pertama,
internalisasi PAI melalui pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan fungsi
pokok dan usaha yang paling strategis guna mewujudkan tujuan institusional.
Tujuan setelah proses pembelajaran adalah sistem nilai yang harus tampak dalam
perilaku dan merupakan karakteristik kepribadian siswa.
Pembelajaran
sebagai sebuah metode menghendaki adanya perekayasaan situasi terencana yang
memberikan perlakuan tertentu, untuk mengetahui akibat-akibatnya terhadap
peserta didik. Menggunakan metode secara
terencana, sistematik, dan terkontrol, baik dalam bentuk desain fungsional
maupun faktoral melalui pengenalan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan, melalui bentuk penggambaran konsep-konsep yang bersifat penghayatan
dan pengamalan.
Pembelajaran dan internalisasi PAI
di sekolah menghadapi berbagai persoalan mendasar. Di antaranya terkait dengan
relevansi materi pembelajaran, strategi pembelajaran, dan keterbatasan bahan
bacaan yang dapat mendukung perkembangan keagamaan peserta didik.Sejauh ini penanaman nilai-nilai PAI di sekolah masih
menitikberatkan kepada domain kognisi yang cenderung menampilkan agama sebagai seperangkat
rumusan kepercayaan dan ajaran yang cenderung indoktrinatif-normatif. Akibatnya,
bahan-bahan bacaan untuk mendukung domain tersebut terbatas pada buku-buku
teks.
Padahal, upaya penanaman
nilai-nilai PAI tidak sekedar menyangkut dimensi kepercayaan, tetapi lebih dari
itu adalah dimensi pembudayaan. Dalam hal ini dibutuhkan agama dalam bentuknya
yang efektif dan praktis. Artinya, agama mesti ditampilkan dalam performa
historik, kontekstual dan aktual yang disajikan melalui pengalaman dan kisah hidup
yang mengekspresikan perilaku keagamaan dan menjawab berbagai problem
keseharian dalam suatu dimensi ruang, waktu dan konteks tertentu. Tentu saja
melalui pola pembelajaran yang diarahkan pada upaya menciptakan model
pembelajaran bagi peserta didik dan mampu memberi warna baru bagi pembelajaran
nilai keagamaan.
Kedua, membentuk
lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai PAI. Institusi
pendidikan merupakan sebuah ranah (domain) sosial yang diharapkan mampu
berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya intelektualitas, moralitas, dan
orde kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian. Maka, dengan sendirinya,
sebuah institusi pendidikan berarti sebuah lingkungan yang jauh lebih berwibawa
dibandingkan dengan lingkungan pabrik, bengkel, pasar, hotel dan atau
dibandingkan barak militer.
Ini karena secara eksistensial,
setiap manusia dalam lingkungan pendidikan didorong mengenal hakikat
kemanusiaan dirinya secara utuh serta belajar menerima keberadaan orang lain
dengan prinsip tepa selira. Itulah sebabnya mengapa pembudayaan akal budi dalam
dunia pendidikan seiring dan sejalan dengan pengukuhan hati nurani. Dalam dunia
pendidikan itulah intelektualitas berfungsi merawat hati nurani. Melalui internalisasi
dan pembentukan lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai
PAI, diharapkan mampu meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman,
bertakwa dan berakhlak mulia. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya giat
dalam menjalankan ibadah ritual, tetapi ia pula komitmen melakukan
aktivitas-aktivitas yang terbingkai dengan nilai-nilai agama. hanya usaha yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan itulah, pendidikan Islam akan dapat
mengubah tantangan menjadi peluang.
Untuk menjawab tantang tersebut,
bagaimana kita bisa mngatasinya, terutama bagi generasi muda islam. setidaknya
kita mulai dari lingkungan kecil, seperti kelurga, sekolah, dan perguruan
tinggi serta instansi dan lembaga terkait.
semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar