Rabu, 24 Oktober 2012

KESEJAHTERAAN RAKYAT DAN PEMEKARAN KABUPATEN PESISIR SELATAN


Pantai Carocok Nan Indah
Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu dari 19 kabupaten / kota di Propinsi Sumatera Barat, dengan luas wilayah 5.749,89 Km2. Wilayah Kabupaten Pesisir Selatan terletak di bagian selatan Propinsi Sumatra Barat, memanjang dari utara ke selatan dengan Panjang garis pantai 234 Km. Sebelah utara berbatasan dengan Kota Padang, sebelah timur dengan Kabupaten Solok dan Propinsi Jambi, sebelah selatan dengan Propinsi Bengkulu dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia, ini merupakan kabupaten terluas dari kabupaten lainnya di Propinsi Sumetera Barat.  Pada tahun 2010 Jumlah Angka kemiskinan Kabupaten Pesisir Selatan  menurun menjadi 24 ribu Kepala Keluarga (KK) dari sebelumnya mencapai
41 ribu KK. Jumlah penduduk Pesisir Selatan Tahun 2010 sebanyak 452.344 jiwa. Dari jumlah itu
penduduk miskin 24 ribu KK, sebelumnya 41 ribu pada Tahun 2005, (http://bakinnews.com), Setelah dilakukan pemutakhiran data kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Pesisir Selatan mencatat jumlah penduduk tahun 2011 sebanyak 507.930 jiwa (125.488 KK) dari jumlah tersebut, sebanyak 340.737 jiwa merupakan wajib KTP. Kata Ketua Pusat Studi Pesisir dan Kelautan Universitas Bung Hatta, Dr Ir Eni Kamal M Sc saat menjadi Nara Sumber pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tingkat Kabupaten Pesisir Selatan di Painan. Pada tahun 2012 dari Sektor Perikanan Pesisir Selatan  termasuk Rumahtangga miskin tertinggi dari 19 kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Jumlah rumahtangga miskin Pesisir Selatan sektor perikanan sebanyak 2.338 dari 13.998 kepala keluarga (KK). Dengan angka itu, Pesisir Selatan peringkat I di Sumbar, diikuti Pasaman Barat1.931 KK. 
Nah, Mungkin Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran Kabupaten Pesisir Selatan dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, Wacana pemekaran ini kemudian menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, ada kelompok yang mendukung dan ada pula yang menolak. Namun Benarkah Setelah pemekaran kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik pada akhirnya benar-benar meningkat setelah daerah tersebut di mekarkan?
Desentralisasi merupakan salah satu perubahan sosial politik yang dialami Indonesia, semenjak adanya dasar hukum untuk pembentukan wilayah UU No 22 tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan melalui PP No 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kreteria pemekaran penghapusan dan penggabungan daerah dan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Semangat otonomi daerah tercermin antara lain pada keinginan sebagian daerah untuk memekarkan diri dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah yang membawa konsekuensi pemekaran wilayah adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Apalagi spirit yang ditanamkan dalam setiap perluasan wilayah adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik, Karena kita menyadari Pelayanan Publik Mencerminkan  Sejauh mana Pemerintah Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Serta Kondisi Umum Daerah itu sendiri.

Pertanyaan ini menarik untuk kita diskusikan apalagi saat ini provinsi sumatera barat sedang dihadapkan dengan tuntutan pemekaran seperti di  kabupaten pesisir selatan usulan pemekaran kabupaten baru dengan nama kabupaten Renah Indo Jati, yang  sebelumnya  bekas Kecamatan Pancungsoal.  Selain efek dari pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat yang tidak mengakar ke daerah, ini didukung dengan paradigma otonomi daerah yang selama ini memiliki imej dan pemberian opsi pemekaran wilayah.
Sebelum kita mendiskusikan hal di atas ada baiknya kita berbicara terlebih dahulu tentang prinsip otonomi daerah.
Otonomi berasal dari dua kata “auto” berarti sendiri, “nomos” berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri. Untuk dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan sendiri di daerah secara riil, luas dan tidak hanya sekedar “bujukan” dari pemerintah pusat kepada pemda dan rakyat daerah, harus ada perubahan struktural dalam pemerintahan di negara yang bersangkutan, dalam hal ini Indonesia.
Dalam meligitimasi dan mendorong terselenggaranya rumah tangga pemerintahan itu sendiri dalam bentuk hukum atau perundang-undangan, kesadaran kritis dan kemauan baik dari pemerintah pusat maupun dari Pemda dan rakyat Daerah, agar keutuhan NKRI ini terjamin dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan dapat tercipta. Perubahan struktural ini antara lain meliputi pembaharuan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemda yang semula hanya hubungan secara prinsip didasarkan pada asas dekonsentrasi dan medebewind kemudian diubah menjadi asas desentralisasi.
Perubahan struktual  lainnya yang seharusnya terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas dan nyata adalah otonomi daerah bukan hanya otonomi bagi pemda tetapi juga otonomi bagi rakyat di daerah sehingga adanya komitmen dari pemerintah pusat dan pemda untuk mensejahterakan rakyat di daerah.
Pada asas desentralisasi, sifat pemberian kewenangan adalah pemerintah pusat melimpahkan atau menyerahkan wewenang kepada daerah. Wewenang yang masih ada pada pemerintah pusat adalah hanya pengawasan, pengendalian, dan pertanggungjawaban umum. Wewenang yang dimiliki oleh pemprov, hanya terletak dalam segi koordinasi dan pengawasan, sedangkan wewenang pemkab dan pemko meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan, kecuali gaji pegawai.
Asas ini mendorong timbulnya aktivitas kebijakan dan kewenangan dari bawah ke atas (bottom up policy) yang melahirkan hubungan Pusat-Daerah yang relatif seimbang dan adil.  Otonomi daerah seperti ini hanya dapat tercipta dan terlaksana melalui asas desentralisasi yang dilaksanakan secara konsekuen melalui peraturan perundang-undangan seperti UU No. 32 dan 33 tahun 2004 dan dari sini kita dapat melihat minimal ada dua hal penting yang sebenarnya ditunggu dan dinanti oleh masyarakat yakni pertama Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dan  kedua Pembangunan Sarana dan Prasarana  di Daerah yang dimekarkan. Itulah plus dari sebuah kebijakan pemekaran wilayah. Namun, bicara faktanya cukup banyak daerah yang dimekarkan hanya menguntungkan segelintir kaum elit dan kelompok tertentu. Kesiapan SDM yang minim membuat pembangunan di daerah pemekaran juga menjadi hambatan tersendiri untuk daerah yang dimekarkan sehingga peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat yang di harapkan hanya tinggal menjadi mimpi buat rakyat yang mengharapkan perubahan ekonomi dan pelayanan, semuanya  bertolak belakang dari apa yang diharapkan.
 Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kemendagri terhadap 57 dari 205 daerah pemekaran baru yang muncul selama periode 1999-2010, sebanyak 78% dianggap gagal atau mempunyai nilai rendah. Penilaian ini terutama dari faktor bagaimana pemerintah daerah berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik bagi masyarakatnya (Media Indonesia, 29 Agustus 2012).

Syarat Pemekaran
Berdasarkan aturan, dasar hukum untuk pemekaran wilayah sudah diatur berdasarkan UU No 22 tahun 1999 termasuk juga  UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. PP No 78 Tahun 2007 menyebutkan ada tiga syarat utama untuk memekarkan daerah otonomi baru (DOB) yakni syarat Syarat Administrasi terdiri dari Aspirasi masyarakat ke DPRD (diwakili BPD/FK-Kelurahan), Kajian Daerah, Keputusan Bupati dan Usulan Bupati ke Gubernur, Keputusan DPRD Kabupaten, Keputusan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur dan Usulan Gubernur ke Mendagri dan Rekomendasi Mendagri.
Kedua, Syarat Teknis. Memuat 11 Faktor dan 35 Indikator diantaranya tentang Kependudukan, Kemampuan Ekonomi, Potensi Daerah, Kemampuan keuangan, Sosial Budaya, Sosial Politik, Luas Daerah, Pertahanan, Keamanan, Tingkat Kesejahteraan Masyarakat, Rentang Kendali. Kelulusan syarat teknis didasarkan tidak hanya Total Nilai (hasil kali  skor   dan bobot), namun juga harus lulus pada masing 4 faktor utama yang bersifat mutlak dan syarat ketiga Syarat Fisik Kewilayahan terdiri dari dua item yakni Cakupan Wilayah yang terdiri dari Pembentukan provinsi,  minimal  5 kabupaten/kota yang berusia minimal 7 tahun; Pembentukan kabupaten,  minimal 5 kecamatan yang berusia minimal 5 tahun; Pembentukan kota, minimal 4 kecamatan yang berusia minimal 5 tahun. Dan menjadi utama juga  ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan, menjadi syarat mutlak untuk melaksanakan pelayanan minimal.
Sejahterakan Rakyat
Penulis pikir kita sama-sama sepakat kalau pembentukan dan pemekaran wilayah kabupaten pesisir selatan yakni kecamatan  Pancung soal dijadikan Kabupaten Baru yang diawali dengan niat untuk menyejahterakan masyarakat dan membenahi pelayanan publik walaupun ini juga bukti bahwa kabupaten induk belum bisa memperbaiki kinerjanya. dalam hal ini Tentunya tidak ada garansi atau jaminan juga apabila pemekaran terwujud  kesejahteraan juga akan muncul.
 Bahkan, beberapa wilayah seperti yang telah penulis sebutkan di atas tadi juga dinyatakan gagal dalam mengelola daerahnya. Terlepas dari masalah ini, kita patut mengapresiasi para penggagas pembentukan kabupaten baru tapi perlu diingat persiapkanlah dengan matang pembentukan kabupaten baru ini. kesejahteraan masyarakat tidak hanya dijadikan stempel untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Semoga.

Tidak ada komentar: