Setiap manusia pasti menginginkan
menikah, karena manusia diciptakan hidup berpasang-pasangan, bahkan dalam
sebuah ayat tuhan menggambarkan hikmah dari pernikahan itu. “dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Ar-Rum:21)
atas dasar inilah keinginan manusia
untuk menikah muncul dan kadang keinginan itu bisa membuat manusia termotivasi
untuk memeperbaiki kehidupannya, baik disegi sifat maupun di segi ekonomi,
karena kita yakin tidak ada orang tua yang mau menikahkan anaknya kepada seorang laki-laki maupun perempuan yang tidak bermoral, kecuali orang tua yang
tidak bertanggungjawab.
Berangkat dari motivasi itu, sebelum melakukan pernikahan segala hal
dipersiapkan, baik mental, maupun ekonomi,
banyak orang saat ini merasa akan bahagia dalam berumah tangga apabila ekonomi
sudah mapan, kadang mereka sudah berandai-andai, andai sudah jadi PNS pasti nanti
rumah tangga aku akan bahagia karena ekonomi sudah jelas, anak tidak terlantar.
Andai aku sudah punya rumah, mobil, kita pasti akan bahagia, karena anak-anak
nantinya tidak lagi kena hujan di saat mengantar sekolah. Walaupun itu sebatas
berandai-andai namun usaha untuk mendapatkannya tetap di lakukan, karena hati
sangat yakin kebahagian berumah tangga akan bisa tercapai. Waktu terus
berjalan, waktu pernikahan pun sudah
datang, keinginan pun sudah di dapati walaupun belum semuanya, pernikahan
berlansung, terjalinlah hubungan suami istri yang halal, dan lahirlah sebuah rumah
tangga. Dalam berumah tangga kita sering mengatakan kepada suami mapun istri.
Suami bilang, “mama hanya engakulah istriku satu-satunya, aku bahagia telah
menikah denganmu” begitu pula
sebaliknya. Tuhan maha mendengar, maha
pengasih dan maha penyayang, seiriring waktu berjalan dengan do’a
dan iktiar yang
tidak henti-hentinya pada akhirnya angan-angan menjadi kenyataan, semua
didapati. (Pekerjan PNS, Rumah, Mobil, anak dll). Dengan berjalnnya waktu entah kenapa tampa disadari, atau mungkin
memang disadari, rumah tangga yang dahulunya yang didambakan sudah bergeser
dari yang apa diharapkan. Kata-kata yang indah sudah jarang di dengar sang
istri, dulu di panggil sayang sekarang dipanggil asal bunyi saja, begitu pula
sang istri, dulu selalu ditanya kabar, disiapkan makanan untuk suami, tapi
sekarang ambil sendiri-sendiri, bahkan masak pun sendiri. Akhirnya Sang suami
sering marah-marah kepada istri, karena pulang kerja badan sudah capek makanan
yang mau dimakan tidak ada, istri pun
juga marah kepada anak karena kecapeaan pulang kerja, tapi dapur masih
berantakan. Akbiatnya Sang suami mulai berselingkuh karena dirumah sudah tidak nyaman
lagi, sang istri pun pandai juga berselingkuh karena sang suami tidak
menyenangkan lagi, dulu dihantar kerja, sekarang harus sendiri, kadang pergi
bersama selingkuhan. akhirnya rumah tangga yang di idamkan berubah menjadi
neraka pertengkaran yang bebuah perceraain.
anak yang ditinggal sudah tidak punya bapak lagi. Inilah yang terjadi di
dalam rumah tangga kita, pada tahun 2012 begitu banyaknya terjadi perceraian di
provinsi kita ini, bahkan yang lebih dominan dikalangan PNS. Memang penulis
tidak tahu apa penyebab yang sebenarnya, dan Memang juga agama tidak melarang untuk
bercerai, asalkan perceraian dilakukan berdasarkan alasan sesuai dengan aturan
agama dan hukum. Namun jika kita kembali melihat kebalakang, pernikahan yang kita lakukan bukanlah untuk
cerai. Karena menikah adalah gerakan menuju persatuan, menata kesatuan suami dan istri saling
melengkapi sehingga terbangunlah ruh pernikahan. Walapun menurut kamus lengkap bahasa
indoneisa yang disusun oleh Eka Yani Arfina, nikah diartikan sebagai perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami istri secarah sah
menurut agama maupun negara dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi,
namun jika kita dalami esensi dari pernikahan bukan hanya sekedar perjanjian
tapi lebih dalam maknanya yakni membangun ruh pernikahan dalam rumah tangga.
RUH PERNIKAHAN
Penulis mengajak kita kembali berkaca kepada agama, ketika Rasulullah pernah ditanya, “Apa yang
lebih penting dari shalat?” Beliau menjawab, “Ruh shalat!”, yaitu ruh yang
menghidupkan shalat. Beliau juga pernah ditanya tetang apa yang lebih penting
dari shaum (puasa), dan beliau menjawab bahwa yang lebih penting dari shaum
adalah ruh shaum. Untuk setiap pertanyaan yang berkenaan
dengan ibadah ritual, jawabannya selalu sama; karena ruh (spirit)
membawa gerak ke dalam kehidupan dan memunculkan kekuatan-kekuatannya. Tanpa ruh yang menggerakkan itu,
shalat hanyalah gerakan-gerakan, dan puasa hanyalah lapar. Tapi ketika ruhnya
masuk, ketika niat murni dan pemusatan pikiran masuk, gerakan-gerakan itu
mengalami transformasi (perubahan bentuk). Shalat mendapatkan daya menjadi mi’raj
(sarana perjalanan ruhani mencapai posisi yang lebih tinggi; sarana peningkatan
kesadaran intelektual dan iman.), dan puasa memunculkan daya untuk mampu
menemukan lailatul-qadr(i) (sebuah masa
momentum turunnya ‘ruh’
yang lain, yaitu ruh pencerah kesadaran budaya, yakni hidup patuh
dengan perintah allah).
Lantas,
apakah yang lebih penting dari pernikahan? Menurut penulis tentu saja yang lebih penting
darinya adalah ruh pernikahan. Yaitu niat yang mendasarinya, yang merupakan
gudang yang isinya tersembunyi, yang harus diketahui dan dikeluarkan oleh pasangan
pernikahan itu sendiri. Allah memberikan peringatan dan
isyarat agar kita mempelajari hal itu. Dalam surat Al-A’raf ayat 189, misalnya,
dikatakan: Dialah yang menciptakan kalian dari satu rumusan, dan
darinya pula Dia jadikan pasangannya, supaya merasa tenteram berdampingan
dengannya…..
Dengan
demikian, pria dan wanita saling melengkapi. Bersama-sama, mereka membentuk
satu diri; dan ini harus diusahakan oleh mereka berdua, yaitu berusaha agar
mereka menjadi seolah-olah satu makhluk, satu diri, satu nyawa. Firman Allah pula, dalam surat
Al-Baqarah ayat 187:
Mereka (istri kalian) adalah pakaian kalian, dan kalian
(para suami) adalah pakaian bagi mereka. Dengan demikian, suami dan istri
saling melengkapi. Mereka masing-masing memunculkan sebuah sisi baru dari
kemanusiaan mereka, dan mendalami kepribadian mereka dengan memasuki dunia
pernikahan. Itulah yang digambarkan secara simbolis dalam ayat di atas.
Nah, Sebagaimana pakaian menutup tubuh dan melindungi
pemakainya, begitulah suami dan istri satu sama lain menjadi pelindung dan
pembantu, dan satu sama lain mereka menjaga kehormatan, membentuk pernikahan
menjadi sebuah sarang dan tempat perlindungan, yang di dalamnya suami-istri
merasa nyaman dan aman, karena terlindung di dalam kepedulian dan penjagaan yang
dilakukan secara bersama-sama. Ditegaskan Allah pula dalam al-qur’an
Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasangan. (Dengan maksud) agar kalian menyadari
(mengapa diciptakan demikian). Istilah untuk pasangan dalam Al-Quran adalah (zauj), yang harfiahnya berarti “bagian
dari suatu pasangan”. Ketika satu bagian bertemu (berpasangan) dengan bagian
yang lainnya, lalu bekerja sama dalam suatu tindakan, maka berbagai daya yang
selama ini tersimpan pun muncul. Inilah rahasia dari seluruh ciptaan (yang
berpasang-pasangan itu). Dan pernikahan manusia ditegaskan Al-Quran sebagai cerminan dari sifat dan
kecenderungan yang terdapat dalam semua tingkat ciptaan.
Ketika
sesuatu diciptakan sebagai bagian dari suatu pasangan, maka jelas keberadaannya
menjadi tidak lengkap tanpa kehadiran bagian yang lainnya. Karena itulah Allah
menegaskan dalam surat An-Najm(u) ayat 45 bahwa Ia sengaja menciptakan makhluk
berpasangan, terdiri dari (jenis) lelaki dan wanita (jantan dan betina). Istilah (nikah) sendiri pun digunakan secara kiasan
untuk menggambarkan perpaduan mesra berbagai aspek ciptaan. Dalam Al-Quran, misalnya, dikatakan bahwa hujan
‘menikahi’ tanah, dan kemudian digambarkan bagaimana dari perpaduan mesra
itu tumbuh bersemi berbagai bentuk kehidupan. Tanah menumbuhkan bunga dan
sayuran, membuka peluang bagi makhluk-makhluk baru, kehidupan baru,
potensi-potensi baru. Jadi, tindakan pernikahan, perpaduan
melalui pernikahan dalam konsep Islam adalah jalur segala hal dalam jalinan dan
rantai penciptaan. Setiap pasangan dalam pernikahan menghasilkan sesuatu yang
dibutuhkan dan istimewa dalam konteks pernikahan itu sendiri. Masing-masing
pasangan itu tidak identik (sama persis), tapi satu sama lain menjadi pelengkap
dan memunculkan hal unik, yang tidak akan pernah muncul bila pernikahan tidak
dilakukan. Setiap individu dari satu pasangan mengalami perubahan dan
transformasi ketika mereka berpadu dalam pernikahan, karena pernikahan adalah
perpaduan sempurna antar diri, jiwa, kepribadian dan dua
makhluk yang berbeda (tapi merupakan pasangan).
Dalam
pernikahan manusia, perubahan terjadi dalam banyak hal; mulai dari perubahan
gaya hidup, perilaku, dan jiwa setiap individunya sendiri. Dan pasti harus ada
kehendak, dari pihak kedua individu, untuk mengijinkan transforasi yang
mempersatukan itu terjadi. Bila berharap hal itu terjadi dengan sendirinya,
berarti ada penguncian satu pihak yang mengarah pada pembekuan dan penyempitan
satu diri tetap sebagai satu diri, bukan menjadi bagian dari satu pasangan yang
berpadu secara intim. Hal ini juga berarti pembelengguan dan penguncian
potensi, keindahan dan kekuatan yang dapat muncul dari perpaduan mesra yang
seharusnya terbentuk melalui pernikahan. Karena “Allah
menciptakan segala sesuatu berpasangan”, seperti dinyatakan dalam Al-Quran, dan
karena Allah menciptakan lelaki dan wanita dari satu rumusan, maka Allah pula
yang merupakan pusat rujukan bagi setiap pasangan yang menikah. “Dialah yang menciptakan
keseimbangan” segala hal. Karena itu, Dia pula yang harus dirujuk untuk
mendapatkan keseimbangan hidup. Bila kedua pasangan dalam pernikahan menata
sedemikian rupa hubungan mereka dengan Allah, maka bisa dipastikan keseimbangan
sempurna akan dirasakan dalam kehidupan mereka.
Cinta
adalah pergerakan menuju persatuan, kesatuan. Dan karena Allah itu Satu (yang
juga mengajarkan satu konsep kehidupan), maka semakin dekat sang hati kepada
Yang Satu, semakin kuat pula daya cinta yang tumbuh.
Cinta
adalah gerakan menuju persatuan, menuju kesatuan. Seperti digambarkan
dalam surat Al-Anfal ayat 63, melalui ajarannya, Allah mempersatukan hati-hati
yang bermusuhan. Persatuan timbul melalui cahaya kesatuan yang dihasilkan ruh
cinta dan kekeluargaan yang ada di hati. Karena cinta adalah bayangan Kesatuan,
kekeluargaan adalah bayangan cinta, dan keseimbangan adalah bayangan
kekeluargaan. Maka, biarkanlah pasangan-pasangan yang menikah menjadi
pembantu dan pelindung satu sama lain. Biarkanlah mereka menjadi
pakaian-pakaian yang indah bagi satu sama lain, dan biarkanlah mereka mengalami
bersama banyak perbendarharaan dan keindahan pernikahan. dan penulis
mengajak kita semua mari Jadikan pernikahan untuk membangun rumah tangga yang
sakinah dan mawadhah dengan mengawali dengan niat yang benar serta membina niat
kita agar tidak terjebak dengan hawa nafsu yang tidak pernah puas dan
kenal rasa kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar