Selasa, 11 Oktober 2011

PENDIDIKAN HEWANI DAN MANUSIAWI



Pendidikan Hewani
Pendidikan pada hakikatnya adalah segala tindakan yang dilakukan untuk membuat manusia (anak didik) mampu “berpikir benar dan bertindak benar” sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Karena itu, pendidikan harus bersifat praktis (berisi pengajaran tentang sesuatu yang bisa dikerjakan), dan pragmatis (merupakan jawaban atas tuntutan kebutuhan yang mendesak), dan bukan idealis (berupa teori-teori yang tidak bisa dijalankan).
Para orang tua selalu menjalankan pendidikan demikian dalam kaitan dengan kebutuhan manusia yang sangat mendesak. Setiap anak di didik secara tekun dan penuh kasih sayang agar bisa makan, minum, berjalan, berbicara, mandi, berpakaian, bekerja, berkreasi, dst., secara mandiri. Pada masyarakat-masyarakat tradisional, proses pendidikan tersebut semua dilakukan oleh orang-tua si anak melalui pengajaran secara lisan, percontohan, dan latihan-latihan. Ciri pokok dari pendidikan seperti ini adalah pengalihan (transfer) kemampuan yang bersifat keterampilan. Anak yang
lemah tumbuh semakin kuat. Orang dewasa yang kuat berubah semakin tua dan lemah. Kematian orang tua mewariskan kewajiban bagi si anak untuk melanjutkan hidup sendiri. Karena itu transfer (pemindahan pemilikan) kemampuan merupakan tuntutan yang sangat logis. Orang tua yang tidak  melakukan pengalihan kemampuan (mendidik) adalah orang tua yang tidak bertanggung-jawab, karena berarti membiarkan anaknya hidup merana atau mati karena tidak bisa memenuhi kebutuhannya.  Hal seperti ini juga dilakukan oleh  hewan. Bahkan para hewan tidak pernah gagal dalam pendidikan. Tidak ada anak kucing yang tidak mampu mengeong, mencakar, melompat, dan menerkam mangsa. Sebaliknya, banyak manusia mati meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan  lemah dan bodoh.
Hewan juga tidak pernah menyerahkan pendidikan anaknya kepada hewan jenis lain. Karena itu tak pernah ada kucing yang berkokok atau ayam yang mengeong. Orang tua hewan adalah orang tua yang sangat bertanggung-jawab dalam melestarikan ‘kebudayaan’. Sebaliknya, manusia sering kali menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain, sehingga kematian satu generasi kadang berarti kematian sebuah kebudayaan.

Pendidikan manusiawi
Pendidikan hewani dilakukan (hewan dan manusia) hanya sekadar memindahkan kemampuan untuk bisa hidup secara sederhana (berupa siklus kegiatan makan, minum, cari makan, tidur).
Bagi manusia yang mempunyai kesamaan dengan hewan pendidikan hewani adalah pendidikan dasar, yang secara keseluruhan dapat berjalan secara  (seakan-akan) naluriah (otomatis), karena semua sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, sehingga pendidik maupun anak didik tidak merasakan beban-beban psikologis (misalnya rasa malas).
Sebaliknya, pendidikan manusiawi adalah pendidikan yang memberatkan (jiwa) manusia. Karena dengan pendidikan manusiawi ini manusia tidak lagi boleh makan, minum, bekerja, berkreasi, dan bergaul secara naluriah (seenaknya) tapi harus mengikuti suatu peraturan atau hukum.
Suatu hukum kadang melarang manusia makan meski ia lapar dan makanan ada di hadapannya. Suatu hukum kadang melarang manusia melakukan ini dan itu yang semula biasa dilakukan. Dengan kata lain, pendidikan manusiawi kadang mengharuskan manusia ‘berkelahi’ dengan dirinya sendiri.
Dalam perkelahian tentu harus ada yang menang dan yang kalah. Bila kebiasaan lama (yang bertentangan dengan hukum) yang menang, maka manusia gagal ‘naik kelas’, alias tetap sekelas dengan hewan. Bila hukum yang menang, hewan bertubuh manusia itu benar-benar menjadi manusia.
Dalam kehidupan naluriah manusia selalu berbenturan dengan sesamanya, selalu cenderung untuk menjadi serigala yang memangsa sesamanya (homo homini lupus). Dengan menjalankan hukum, benturan-benturan dikurangi sampai batas minimal.
Dan, boleh percaya boleh tidak, hukum (seharusnya) menjadi berperan maksimal ketika disepakati menjadi hukum (positif) negara.
Sayangnya, kita masih (terpaksa harus) mengeluh ketika ternyata negara pun sering tidak bisa menjamin hukum bisa berlaku sebagaimana mestinya. Kenapa pendidikan yang diterima oleh yang menyepakati hukum hanya bersifat teori bukan pemindahan kemampuan untuk menjalankan?????. Maka wajarlah kita semua mengeluh karena tidak ada yang mampu menjalankan hukum. Maka jadilah mereka menjalankan pendidikan dan hukum hewan yang hanya bersifat dasar. Berkeliaranlah hewan-hewan di lingkungan hukum untuk memangsa hewan yang lain tampa memperhitungkan apakah itu melanggar hukum yang di sepakati. Semoga hewan-hewan ini sadar bahwa dia manusia yang paham dengan hukum dan lebih sempurna dari hewan.

Sumber: Al-Quran, Hadist (ilmu allah)

Tidak ada komentar: