Dalam keterpurukan, rakyat Indonesia tetap berlomba-lomba menyekolahkan
anak. Mereka yang kaya, tidak segan-segan mengeruk isi kocek jutaan sampai
miliaran, untuk memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan
bertaraf internasional dan terbaik, di dalam atau di luar negeri. Mereka yang
miskin, tak peduli walau kadang harus menggadaikan kepala, memaksa diri
berlomba supaya anak-anak mereka bisa ikut bersekolah. Bagi si kaya, bisa jadi
menyekolahkan anak di lembaga pendidikan formal adalah formalitas belaka.
Anak-anak mereka dikirim ke sekolah hanya untuk
bersenang-senang dengan segala
fasilitas, membeli berbagai ijazah, dan pulang untuk menerima jabatan atau
perusahaan yang siap diwariskan.
Sementara bagi si miskin, pendidikan adalah satu-satunya gantungan harapan
untuk membebaskan diri dari kemelaratan. Tapi kepedulian mereka terhadap
pendidikan sering kali malah membuat mereka semakin terpuruk ke dalam sumur
kepedihan. Sejak zaman kolonial, pendidikan selalu identik dengan kekayaan;
sehingga bagi si miskin memasuki dunia pendidikan adalah sebuah angan-angan.
Sejak dahulu, pendidikan selalu merupakan masalah struktural, dan yang
‘menikmati’ masalah itu tentu saja orang-orang miskin. Sistem sekolah itu
sendiri disusun struktural mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Alhasil, ketika hal itu dikaitkan dengan isi kantong rakyat, terbagilah kelas
rakyat ke dalam ‘kasta’ lulusan SD, lulusan SMP, lulusan SMA, dan lulusan
Perguruan Tinggi, yang pada akhirnya juga menjadi penentu nasib mereka dalam
memperoleh bidang pekerjaan. Akhirnya banyak manusia salah dalam memaknai jenjang
pendidikan yang di dapatkannya, yang berdampak terhadap hubungan sesama manusia,
sehingga membuat pengkastaan (kelas) manusia menjadi sesuatu yang wajar dan
bisa diterima dengan rela (oleh rakyat kecil).
Manusia memang makhluk yang unggul; dan keunggulan manusia menjadi semakin
kemilau setelah diasah dengan mesin pendidikan. Tidak ada manusia yang bisa
bangkit dari derajat hewan tanpa sentuhan pendidikan. Sebaliknya, tidak ada
manusia yang bisa lepas dari kebingungan ketika pendidikan ternyata telah menjelma
menjadi sistem kekuasaan yang berpusing menjadi kincir lingkaran setan. Di
sana, si kuat menjadi serba benar dan si lemah jadi serba salah. Kemudian itu menjadi gaya
hidup sebagian kita, Lantas bagaimana sebagian gaya hidup manusia itu?
Manusia lahir, tumbuh, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya
mati. Ketika menyebut istilah "masa
depan", kebanyakan kita membayangkan sebuah masa tua yang tenang, karena
punya rumah besar, cukup makanan dan pakaian, semua anak-anak telah menjadi
"orang", dan telah melahirkan banyak cucu yang sehat sejahtera, dan kita duduk beruncang-uncang kaki di atas
kursi goyang, menyaksikan keriangan para cucu yang akan menyambung sejarah
kita. Itukah yang dimaksud "masa depan"? Itukah "sorga
dunia" yang kita idam-idamkan, yang membuat kita semua sekarang tidak
berhenti memutar otak, membanting tulang dan memeras keringat? demi "masa
depan" yang (kira-kira) seperti itulah kita berjuang, "berjibaku
mengejar uang", untuk membeli makanan, pakaian, dan rumah. Demi masa depan
seperti itulah kita modali anak-anak bersekolah di sekolah-sekolah yang memang
menjanjikan "masa depan", karena mengajarkan ilmu-ilmu yang menjamin
kebahagiaan "masa depan".
Tapi kepada anda atau mereka yang sudah tua, punya rumah besar, punya
tabungan di banyak bank, punya anak-anak yang sudah jadi orang, punya banyak
cucu yang sehat dan bersekolah di sekolah-sekolah bergengsi, baik di dalam maupun di luar negeri, tolong
katakan: "Apakah anda bisa duduk beruncang-uncang kaki, sambil menikmati
kopi dan mengisap rokok, dan makan makanan yang serba mewah, sementara di depan
anda televisi menyiarkan berita-berita kerusuhan, perang, pemerkosaan,
perampokan, pembunuhan, dan aneka macam kejahatan, bahkan bencana alam?"
"Apakah anda bisa tenteram menyaksikan cucu-cucu yang lincah dan riang
karena cukup sandang dan pangan, sementara begitu banyak anak-anak lain yang
telanjang, kepanasan, kehujanan, dan kelaparan?" Barangkali anda bisa
mengatakan bahwa itu semua bukan urusan anda. Tapi apa yang akan anda katakan ketika
para perusuh membakar rumah anda? Apa yang akan anda katakan bila ada anak,
cucu atau cicit anda dijarah, dibunuh, atau diperkosa? Anda bisa lontarkan
tuduhan kebiadaban kepada para pelaku langsung segala tindak kejahatan itu, dan
para polisi bisa segera memenjarakan atau menghukum mati mereka. Tapi apakah
itu cukup untuk membasmi segala penyakit masyarakat kita? Ya, anda bisa
mengatakan bahwa itu bukan urusan anda. Segala masalah kemanusiaan itu memang
bukan urusan anda, bukan urusan saya, bukan urusan si A dan si B dan si C. Tapi
itu semua adalah urusan kita, sebagai makhluk yang bernama manusia. Kita
sepakat mengaku bahwa manusia adalah makhluk sosial, tapi ternyata cara
berpikir kita, tindak-tanduk keseharian kita, lebih mewakili cara-cara individualis.
Atau barangkali 'sosialisme' yang kita anut adalah sosialisme yang sempit,
yakni dalam arti mengelompok dalam lingkungan pergaulan tertentu saja, dan itu
pun dilakukan hanya demi kebutuhan pragmatis. Ya, sebut saja mereka yang pada
saat-saat tertentu berkumpul di lapangan golf atau tenis, atau bahkan di
restoran. Apakah mereka akan 'rela' mengadakan pertemuan bila di balik itu
tidak mengharapkan sesuatu (keuntungan materi!) yang lain? Dengan kata lain,
mereka bertemu bukan untuk bersosialisasi dalam arti bergaul untuk menciptakan
persahabatan yang tulus, tapi cuma sekadar untuk saling mengincar kapan sang
'rekan' bisa 'dimakan'..!
Itulah hidup model para penjudi. Berkumpul hanya untuk saling mengintip isi
kantong. Itulah gaya hidup yang memandang bumi Allah ini sebagai arena
permainan. Gaya hidup yang memubazirkan segala sarana karena hanya digunakan
untuk pelampias nafsu. Gaya hidup yang
terus-menerus meminta korban yang sia-sia, karena semua pengorbanan hanya
menghasilkan fatamorgana. Kesenangan dan kepuasan semu. jika kita sudah mulai
menyadarinya, sudah saatnya kita berusaha berbenah, pendidikan tinggi yang kita
dapatkan harusnya mampu menjadikan diri kita takwa dalam pembuktian, bukan karena
kebarat-baratan, bukan karena ketimur-timuran, jika kita disebut beriman, maka
bertakwalah dengan pandangan dan sikap hidup berdasar ajaran Tuhan, Bila kau kaya,
kaunikmati hartamu, bersama temanmu, anak yatim, orang miskin, dan orang yang
tiada pegangan, dan orang yang jadi tanggungan, dan tegakkan shalat, dan fungsikan
zakat, dan kau tunaikanlah janji, serta teguh bertahan dalam pendirian, kau pun
tahan melawan kesusahan dan ancaman, dan tetap bertahan, meski tiba-tiba datang
godaan! Begitulah menusia berpendidikan yang terdidik dan beriman, begitulah takwa
dalam pembuktian meletakkan gaya hidup kita susuai tujuan penciptaan, yakni mengabdi
kepada allah swt, (rahmat bagi semesta alam). Semoga.
Tulisa Ini Pernah di terbitkan Media Cetak/ Koran (Tanjungpinang Pos Februari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar