Senin, 31 Maret 2014

PENDIDIKAN, MASA DEPAN DAN GAYA HIDUP




Dalam keterpurukan, rakyat Indonesia tetap berlomba-lomba menyekolahkan anak. Mereka yang kaya, tidak segan-segan mengeruk isi kocek jutaan sampai miliaran, untuk memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional dan terbaik, di dalam atau di luar negeri. Mereka yang miskin, tak peduli walau kadang harus menggadaikan kepala, memaksa diri berlomba supaya anak-anak mereka bisa ikut bersekolah. Bagi si kaya, bisa jadi menyekolahkan anak di lembaga pendidikan formal adalah formalitas belaka.  Anak-anak mereka dikirim ke sekolah hanya untuk
bersenang-senang dengan segala fasilitas, membeli berbagai ijazah, dan pulang untuk menerima jabatan atau perusahaan yang siap diwariskan.

Sementara bagi si miskin, pendidikan adalah satu-satunya gantungan harapan untuk membebaskan diri dari kemelaratan. Tapi kepedulian mereka terhadap pendidikan sering kali malah membuat mereka semakin terpuruk ke dalam sumur kepedihan. Sejak zaman kolonial, pendidikan selalu identik dengan kekayaan; sehingga bagi si miskin memasuki dunia pendidikan adalah sebuah angan-angan. Sejak dahulu, pendidikan selalu merupakan masalah struktural, dan yang ‘menikmati’ masalah itu tentu saja orang-orang miskin. Sistem sekolah itu sendiri disusun struktural mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Alhasil, ketika hal itu dikaitkan dengan isi kantong rakyat, terbagilah kelas rakyat ke dalam ‘kasta’ lulusan SD, lulusan SMP, lulusan SMA, dan lulusan Perguruan Tinggi, yang pada akhirnya juga menjadi penentu nasib mereka dalam memperoleh bidang pekerjaan. Akhirnya banyak manusia salah dalam memaknai jenjang pendidikan yang di dapatkannya, yang berdampak terhadap hubungan sesama manusia, sehingga membuat pengkastaan (kelas) manusia menjadi sesuatu yang wajar dan bisa diterima dengan rela (oleh rakyat kecil). 

Manusia memang makhluk yang unggul; dan keunggulan manusia menjadi semakin kemilau setelah diasah dengan mesin pendidikan. Tidak ada manusia yang bisa bangkit dari derajat hewan tanpa sentuhan pendidikan. Sebaliknya, tidak ada manusia yang bisa lepas dari kebingungan ketika pendidikan ternyata telah menjelma menjadi sistem kekuasaan yang berpusing menjadi kincir lingkaran setan. Di sana, si kuat menjadi serba benar dan si lemah jadi serba salah. Kemudian itu menjadi gaya hidup sebagian kita, Lantas bagaimana sebagian gaya hidup manusia itu?

Manusia lahir, tumbuh, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya mati.  Ketika menyebut istilah "masa depan", kebanyakan kita membayangkan sebuah masa tua yang tenang, karena punya rumah besar, cukup makanan dan pakaian, semua anak-anak telah menjadi "orang", dan telah melahirkan banyak cucu yang sehat sejahtera,  dan kita duduk beruncang-uncang kaki di atas kursi goyang, menyaksikan keriangan para cucu yang akan menyambung sejarah kita. Itukah yang dimaksud "masa depan"? Itukah "sorga dunia" yang kita idam-idamkan, yang membuat kita semua sekarang tidak berhenti memutar otak, membanting tulang dan memeras keringat? demi "masa depan" yang (kira-kira) seperti itulah kita berjuang, "berjibaku mengejar uang", untuk membeli makanan, pakaian, dan rumah. Demi masa depan seperti itulah kita modali anak-anak bersekolah di sekolah-sekolah yang memang menjanjikan "masa depan", karena mengajarkan ilmu-ilmu yang menjamin kebahagiaan "masa depan". 

Tapi kepada anda atau mereka yang sudah tua, punya rumah besar, punya tabungan di banyak bank, punya anak-anak yang sudah jadi orang, punya banyak cucu yang sehat dan bersekolah di sekolah-sekolah bergengsi,  baik di dalam maupun di luar negeri, tolong katakan: "Apakah anda bisa duduk beruncang-uncang kaki, sambil menikmati kopi dan mengisap rokok, dan makan makanan yang serba mewah, sementara di depan anda televisi menyiarkan berita-berita kerusuhan, perang, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan aneka macam kejahatan, bahkan bencana alam?" "Apakah anda bisa tenteram menyaksikan cucu-cucu yang lincah dan riang karena cukup sandang dan pangan, sementara begitu banyak anak-anak lain yang telanjang, kepanasan, kehujanan, dan kelaparan?" Barangkali anda bisa mengatakan bahwa itu semua bukan urusan anda. Tapi apa yang akan anda katakan ketika para perusuh membakar rumah anda? Apa yang akan anda katakan bila ada anak, cucu atau cicit anda dijarah, dibunuh, atau diperkosa? Anda bisa lontarkan tuduhan kebiadaban kepada para pelaku langsung segala tindak kejahatan itu, dan para polisi bisa segera memenjarakan atau menghukum mati mereka. Tapi apakah itu cukup untuk membasmi segala penyakit masyarakat kita? Ya, anda bisa mengatakan bahwa itu bukan urusan anda. Segala masalah kemanusiaan itu memang bukan urusan anda, bukan urusan saya, bukan urusan si A dan si B dan si C. Tapi itu semua adalah urusan kita, sebagai makhluk yang bernama manusia. Kita sepakat mengaku bahwa manusia adalah makhluk sosial, tapi ternyata cara berpikir kita, tindak-tanduk keseharian kita, lebih mewakili cara-cara  individualis. 

Atau barangkali 'sosialisme' yang kita anut adalah sosialisme yang sempit, yakni dalam arti mengelompok dalam lingkungan pergaulan tertentu saja, dan itu pun dilakukan hanya demi kebutuhan pragmatis. Ya, sebut saja mereka yang pada saat-saat tertentu berkumpul di lapangan golf atau tenis, atau bahkan di restoran. Apakah mereka akan 'rela' mengadakan pertemuan bila di balik itu tidak mengharapkan sesuatu (keuntungan materi!) yang lain? Dengan kata lain, mereka bertemu bukan untuk bersosialisasi dalam arti bergaul untuk menciptakan persahabatan yang tulus, tapi cuma sekadar untuk saling mengincar kapan sang 'rekan' bisa 'dimakan'..!

Itulah hidup model para penjudi. Berkumpul hanya untuk saling mengintip isi kantong. Itulah gaya hidup yang memandang bumi Allah ini sebagai arena permainan. Gaya hidup yang memubazirkan segala sarana karena hanya digunakan untuk pelampias nafsu.  Gaya hidup yang terus-menerus meminta korban yang sia-sia, karena semua pengorbanan hanya menghasilkan fatamorgana. Kesenangan dan kepuasan semu. jika kita sudah mulai menyadarinya, sudah saatnya kita berusaha berbenah, pendidikan tinggi yang kita dapatkan harusnya mampu menjadikan diri kita takwa dalam pembuktian, bukan karena kebarat-baratan, bukan karena ketimur-timuran, jika kita disebut beriman, maka bertakwalah dengan pandangan dan sikap hidup berdasar ajaran Tuhan, Bila kau kaya, kaunikmati hartamu, bersama temanmu, anak yatim, orang miskin, dan orang yang tiada pegangan, dan orang yang jadi tanggungan, dan tegakkan shalat, dan fungsikan zakat, dan kau tunaikanlah janji, serta teguh bertahan dalam pendirian, kau pun tahan melawan kesusahan dan ancaman, dan tetap bertahan, meski tiba-tiba datang godaan! Begitulah menusia berpendidikan yang terdidik dan beriman, begitulah takwa dalam pembuktian meletakkan gaya hidup kita susuai tujuan penciptaan, yakni mengabdi kepada allah swt, (rahmat bagi semesta alam). Semoga.

Tulisa Ini Pernah di terbitkan Media Cetak/ Koran (Tanjungpinang Pos Februari 2014)

Tidak ada komentar: