Senin, 23 September 2013

PERSOALAN SOSIAL DAN KEAGUNGAN AL QURAN



Tampa terasa, waktu terus berjalan, sekarang kita sudah berada di bulan ramadhan, yakni bulan yang penuh berkah, seluruh umat muslim di dunia menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan salah satu dari rukun Islam yang menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Tentu kita sangat berbahagia. Namun  disisi lain berbagai persoalan kehidupan terus berlansung yang memhimpit dan menyandara kehidupan kita. Kesenjangan sosial, Pemerasan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pemiskinan dan kemiskinan seolah-olah sudah menjadi warisan abadi yang kian menjadi-jadi, Bencana terjadi dimana-mana silih berganti. Kenapa itu terjadi? 
Dalam sebuah pesan al- alquran mengatakan. ”Timbulnya bencana di darat dan di laut adalah hasil karya budi daya manusia, kiranya mereka dapat merasai sebagian dari apa yang telah mereka lakukan, mudah-mudahan semuanya menjadi sadar kembali.”

Manusia adalah istimewa dalam segala hal yang dapat dilakukannya. Hanya manusialah yang dapat bercakap-cakap, membaca, menulis, menyembah yang gaib, membikin pencakar langit, dan meramalkan posisi bintang-bintang yang ribuan tahun jaraknya. Di antara segala makhluk hanya manusialah yang mempunyai kemampuan belajar berbicara, menyelesaikan berbagai problem dengan ilmu-ilmu hitung yang lebih tinggi, membikin pesawat udara, menjadi perdana menteri. WF. Ogburn Dkk (1950). 

Manusia adalah kesatuan ‘organis’ sebagai halnya sebuah mesin yang diselenggarakan oleh berbagai kegiatan, di mana sistem urat saraf dan alat-alat kelamin dapat dinyatakan seperti para ahli mesin yang menyetir seluruh kegiatan dari mesin-mesin, menyetop, memulainya, menetapkan kegiatan yang diperlukan, dan pada tingkatan apa seharusnya ia bekerja. Otak adalah sebagian dari fungsi urat saraf yang tertinggi. Di sinilah, di dalam permukaan yang paling atas, proses urat saraf membangkitkan untuk belajar, kenangan, dan cita-cita; juga di sinilah pangkal untuk emosi, kontrol dari lain-lain organ dengan cara demikian rupa sehingga terjamin kerja sama yang harmonis dan pemaduan semua organ dan kegiatan ke dalam kesatuan keseluruhan, yaitu organisme.

“Manusia ialah makhluk yang mempunyai kecenderungan hawa nafsu terhadap wanita, anak, kekayaan berupa emas dan perak, kuda yang bagus, binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan, untuk hiasan di dunia. “Kehidupan manusia sebagai kegiatan adalah bola permainan” dari “empat faktor pokok dalam kehidupan sosial manusia. Semuanya memainkan peranan penting di dalam pengalaman hidup manusia. Inilah latar belakang bahwa jika semata-mata menurutkan faktor kehidupannya saja manusia dengan kegiatannya akan menjurus ke arah bencana dan pertumpahan darah dalam kehidupannya di permukaan bumi. Sehingga lembaran sejarah penuh tertulis dengan dokumen-dokumen penyerangan, pembunuhan, perkosaan, perampasan, perbudakan, penipuan, korupsi dan sebagainya oleh manusia terhadap manusia. Dari zaman dahulu dan juga sekarang ini yang disebut Zaman Peradaban. Inilah kenyataan sosial sebagai problem manusia, yang menurut Tagore, (1950) “memberikan berbagai soal kepada kita serta menuntut penyelesaian dari kita, dan bila semua ini tiada dapat kita selesaikan maka hukumannya adalah kematian atau kemunduran.”

Setiap manusia dewasa ini dihadapkan kepada kenyataan sosial dalam bentuk sosial piramida,
yaitu satu gambaran keadaan di mana di atas pundak si tidak punya (buruh) duduklah si punya, dan di atas si punya duduklah golongan yang berkuasa, dan di atas segala-galanya duduklah seorang manusia yang maha kuasa  suatu gambaran exploitation of man by human beings. Inilah zaman di mana para pemegang kekuasaan bagaikan singa, dan para pemimpin laksana anjing dan rakyat yang diperintah merupakan kambing belaka, Keadaan yang demikian berlaku di seantero permukaan bumi ini, semenjak zaman sejarah sampai sekarang ini, di dalam Benteng Dunia Merdeka, di belakang Tirai Besi, dan di setiap Kehidupan Nasional. Di mana setiap manusia di abad ke-21 ini dengan harap-harap cemas mengidam-idamkan perbaikan dan penyelesaian. Apakah Masih bisa kita keluar dari kenyataan sosial ini?

Jika kita jawab pertanyaan diatas, tentu masih bisa, asalkan saja kita mau untuk keluar. keluar dari kenyataan itu tidak mudah, harus memiliki komitmen dan keberanian serta upaya yang sungguh sungguh, terutama memperbiki diri kita sendiri. apalagi sekarang kita berada di bulan ramdhan, inilah saatnya momen perbaikan jiwa dan bangsa. Sebab  jika kita pahami di bulan ramdhan begitu banyak hikmah yang bisa kita ambil dan jalankan dalam memperbaiki kehidupan ini. Diantaranya adalah memeprbaiki diri dengan cara membaca dan memahami al-quran kemudian nilai kandungannya dilaksanakan disetiap gerak aktifitas hidup kita. Al-Quran dan Ramadhan ibarat dua sejoli. Firman Allah, “Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran (pertama kali), sebagai Acuan Hidup bagi manusia, penjelas bagi Acuan itu sendiri, serta pemilah antara Kebenaran dan Kepalsuan.” (baca 2: 185).
Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dengan demikian, Ramadhan menjadi bulan mulia karena Al-Quran diturunkan di dalamnya. Karena itu pula Rasulullah mengkaji Al-Quran (tadarus) bersama Jibril sepanjang bulan Ramadhan. Beliau biasa menyimak dan memperhatikan maknanya, membaca ulang, menghayati isinya, membuat hati beliau hadir dalam situasi-situasinya dan memancarkan cinta beliau dalam kekayaan perbendaharaannya. Orang yang membaca Al-Quran ketika berpuasa memadukan Ramadhan dengan keanggungan Al-Quran. Karena itu ia menghidupkan bulan ini dengan Al-Quran, yang di dalamnya antara lain Allah mengatakan: “(Inilah) kitab penuh berkah (manfaat) yang diajarkan kepadamu (Muhammad), agar ayat-ayatnya ditelaah, sehingga orang-orang yang pengetahuannya mendalam kelak hidup sadar dengannya.
Di bulan Ramadhan, Al-Quran yang mulia mempunyai rasa dan aroma khusus. Ia menawarkan ilham (inspirasi) istimewa dan kesadaran yang berbeda. Di samping itu, ia masih juga menganugerahkan tenaga kehidupan (vitalitas) yang segar. Ramadhan menghadirkan kembali kenangan saat-saat pewahyuan Al-Quran, saat-saat hadirnya kebersamaan dalam pengkajiannya, dan saat-saat para pendahulu kita mencurahkan perhatian terhadapnya. Rasulullah pada suatu hari memberi nasihat, “Bacalah Al-Quran, karena ia benar-benar akan menjadi pembela kalian di Hari Pengadilan.” Beliau juga mengatakan, “Manusia terbaik di antara kalian adalah dia yang mempelajari dan mengajarkan Al-Quran.”
Dan, berkata pula beliau, “Bacalah dua bunga Al-Quran, yaitu surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Keduanya akan datang sebagai dua gumpal awan atau sebagai ‘payung’ dari kumpulan burung, yang akan menaungi para pembacanya di Hari Pengadilan.” Rasulullah juga mengatakan, “Orang yang membaca Al-Quran sehingga menjadi mahir, akan berdampingan dengan kalangan terhormat serta para malaikat. Namun orang yang membacanya dengan terbata-bata, (masih juga) mendapatkan dua imbalan (keuntungan).”
Ketika tiba bulan Ramadhan, para orangtua kita dulu biasa membaca Al-Quran yang Agung. Konon, bila Ramadhan datang, Imam Malik tak pernah lepas dari Al-Quran. Beliau berhenti mengajar dan mengeluarkan fatwa-fatwa hukum, dengan menegaskan bahwa bulan ini adalah bulan Al-Quran. Maka, rumah para orangtua kita dulu selalu dipenuhi dengung suara dari mereka yang membaca Al-Quran. Rumah mereka bermandi cahaya, dan hati mereka penuh dengan kebahagiaan. Mereka membaca Al-Quran dengan irama yang indah, terhenti oleh keajaiban-keajaibannya, menangis karena peringatan-peringatannya, berbahagia karena kabar-kabar gembiranya, menyambut perintah-perintahnya, dan menghindari segala larangannya.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud suatu ketika  membacakan bagian awal surat An-Nisa untuk Rasulullah, hingga ia mencapai ayat berisi pertanyaan, “Maka bagaimana bila Kami tampilkan dari setiap umat seorang syahid, dan Kami tampilkan dirimu (Muhammad) sebagai syahid atas mereka semua?” (4: 41).
Rasulullah menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud, dan berkata, “Cukup sampai di situ dulu.” Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa ketika ia menoleh ke arah Rasulullah, ia melihat wajah beliau basah oleh air mata. Tentu saja, hanya pengagum Al-Quran yang bisa menangis ketika membacanya.
Menurut riwayat lain, Rasulullah suatu hari mendengarkan Abu Musa membaca Al-Quran tanpa sang pembaca menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Kemudian Rasulullah berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa aku menyimak bacaanmu yang fasih? Suaramu tak ubahnya suara seruling Daud! Abu Musa menjawab, “Bila aku tahu, ya Rasulullah, bahwa anda memperhatikanku, pastilah akan lebih kufasihkan lagi bacaanku.”
Tentang kefasihan Abu Musa dalam membaca Al-Quran, ada satu kisah bahwa Umar bin Khatthab setiap melihat Abu Musa hadir di tengah para sahabat biasa mengatakan, “Hai Abu Musa, ingatkan kami kepada Tuhan kita. Abu Musa lalu berdiri di hadapan mereka, membaca beberapa ayat Al-Quran dengan kefasihannya, sehingga para sahabat pun menangis. Sungguh mendengarkan kata-katanya menyebabkan saya menangis, karena mata saya seperti melihat Dia hadir.  Dia membacakan peringatan dari Tuhannya dan menghidupkan kerinduan untuk bertemu dengannya, dan hati yang rindu pun menjadi semakin rindu.
Ketika generasi demi generasi berpaling dari mendengarkan ayat-ayat Allah, pendengaran pun terpelintir, perilaku terjungkir balik, dan pemahaman pun dilanda penyakit. Ketika Al-Quran digantikan dengan sumber-sumber petunjuk yang lain, korupsi menjadi lazim, bencana berlipat ganda, pengertian menjadi kacau, dan ketangguhan pun hilang. Tentu saja tujuan pengajaran Al-Quran adalah untuk memberi manusia petunjuk hidup yang benar. Dia adalah cahaya dan obat jiwa. Dia adalah ilmu, budaya, dan pembuktian. Al-Quran adalah kehidupan, ruh, penyelamat, kebahagiaan, imbalan, dan kepuasan. Ia adalah ajaran Allah, konstitusi, dan kebijaksanaan abadi.
Karena sejarah mencatat hanya dengan ajaran dalam al-quran lah hati kita bisa bersih, mampu menyatukan hidup yang bermusuhan menjadi damai, serta timbul rasa kasih sayang yang begitu tinggi, dan hidup yang berkepedulian sesama manusia menjadi kebutuhan gerak bersama dalam berkehidupan. Semoga ramadhaan kali ini bisa kita jadikan momentum untuk mengkaji al-quran dan menjadikan nasehat-nasehatnya kesadaran hidup, dalam upaya menciptakan kehidupan yang berkah (makmur lagi memakmurkan).  Semoga.

Tulisan ini Pernah diterbitkan di Media Cetak/Koran Tanjungpinang Pos Juli 2013

Tidak ada komentar: