Tampa terasa, waktu terus berjalan, sekarang kita
sudah berada di bulan ramadhan, yakni bulan yang penuh berkah, seluruh umat
muslim di dunia menjalankan ibadah puasa. Puasa merupakan salah satu dari rukun
Islam yang menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Tentu kita sangat berbahagia.
Namun disisi lain berbagai persoalan
kehidupan terus berlansung yang memhimpit dan menyandara kehidupan kita.
Kesenjangan sosial, Pemerasan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pemiskinan
dan kemiskinan seolah-olah sudah menjadi warisan abadi yang kian menjadi-jadi,
Bencana terjadi dimana-mana silih berganti. Kenapa itu terjadi?
Dalam sebuah pesan al- alquran mengatakan. ”Timbulnya
bencana di darat dan di laut adalah hasil karya budi daya manusia, kiranya
mereka dapat merasai sebagian dari apa yang telah mereka lakukan, mudah-mudahan
semuanya menjadi sadar kembali.”
Manusia adalah istimewa dalam segala hal yang dapat
dilakukannya. Hanya manusialah yang dapat bercakap-cakap, membaca, menulis,
menyembah yang gaib, membikin pencakar langit, dan meramalkan posisi
bintang-bintang yang ribuan tahun jaraknya. Di antara segala makhluk hanya
manusialah yang mempunyai kemampuan belajar berbicara, menyelesaikan berbagai
problem dengan ilmu-ilmu hitung yang lebih tinggi, membikin pesawat udara,
menjadi perdana menteri. WF. Ogburn Dkk (1950).
Manusia adalah kesatuan ‘organis’ sebagai halnya
sebuah mesin yang diselenggarakan oleh berbagai kegiatan, di mana sistem urat
saraf dan alat-alat kelamin dapat dinyatakan seperti para ahli mesin yang
menyetir seluruh kegiatan dari mesin-mesin, menyetop, memulainya, menetapkan
kegiatan yang diperlukan, dan pada tingkatan apa seharusnya ia bekerja. Otak
adalah sebagian dari fungsi urat saraf yang tertinggi. Di sinilah, di dalam
permukaan yang paling atas, proses urat saraf membangkitkan untuk belajar,
kenangan, dan cita-cita; juga di sinilah pangkal untuk emosi, kontrol dari
lain-lain organ dengan cara demikian rupa sehingga terjamin kerja sama yang
harmonis dan pemaduan semua organ dan kegiatan ke dalam kesatuan keseluruhan,
yaitu organisme.
“Manusia ialah makhluk yang mempunyai kecenderungan
hawa nafsu terhadap wanita, anak, kekayaan berupa emas dan perak, kuda yang
bagus, binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan, untuk hiasan di dunia. “Kehidupan
manusia sebagai kegiatan adalah bola permainan” dari “empat faktor pokok dalam
kehidupan sosial manusia. Semuanya memainkan peranan penting di dalam
pengalaman hidup manusia. Inilah latar belakang bahwa jika semata-mata
menurutkan faktor kehidupannya saja manusia dengan kegiatannya akan menjurus ke
arah bencana dan pertumpahan darah dalam kehidupannya di permukaan bumi.
Sehingga lembaran sejarah penuh tertulis dengan dokumen-dokumen penyerangan,
pembunuhan, perkosaan, perampasan, perbudakan, penipuan, korupsi dan sebagainya
oleh manusia terhadap manusia. Dari zaman dahulu dan juga sekarang ini yang
disebut Zaman Peradaban. Inilah kenyataan sosial sebagai problem manusia, yang
menurut Tagore, (1950) “memberikan berbagai soal kepada kita serta menuntut
penyelesaian dari kita, dan bila semua ini tiada dapat kita selesaikan maka
hukumannya adalah kematian atau kemunduran.”
Setiap manusia dewasa ini dihadapkan kepada kenyataan
sosial dalam bentuk sosial piramida,
yaitu satu gambaran keadaan di mana di atas pundak si
tidak punya (buruh) duduklah si punya, dan di atas si punya duduklah golongan
yang berkuasa, dan di atas segala-galanya duduklah seorang manusia yang maha
kuasa suatu gambaran exploitation of
man by human beings. Inilah zaman di mana para pemegang kekuasaan bagaikan
singa, dan para pemimpin laksana anjing dan rakyat yang diperintah merupakan
kambing belaka, Keadaan yang demikian berlaku di seantero permukaan bumi ini,
semenjak zaman sejarah sampai sekarang ini, di dalam Benteng Dunia Merdeka, di
belakang Tirai Besi, dan di setiap Kehidupan Nasional. Di mana setiap manusia
di abad ke-21 ini dengan harap-harap cemas mengidam-idamkan perbaikan dan
penyelesaian. Apakah Masih bisa kita keluar dari kenyataan sosial ini?
Jika kita jawab pertanyaan diatas, tentu masih bisa,
asalkan saja kita mau untuk keluar. keluar dari kenyataan itu tidak mudah,
harus memiliki komitmen dan keberanian serta upaya yang sungguh sungguh,
terutama memperbiki diri kita sendiri. apalagi sekarang kita berada di bulan
ramdhan, inilah saatnya momen perbaikan jiwa dan bangsa. Sebab jika kita pahami di bulan ramdhan begitu banyak
hikmah yang bisa kita ambil dan jalankan dalam memperbaiki kehidupan ini. Diantaranya
adalah memeprbaiki diri dengan cara membaca dan memahami al-quran kemudian
nilai kandungannya dilaksanakan disetiap gerak aktifitas hidup kita. Al-Quran dan
Ramadhan ibarat dua sejoli. Firman Allah, “Bulan Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al-Quran (pertama kali), sebagai Acuan Hidup bagi manusia,
penjelas bagi Acuan itu sendiri, serta pemilah antara Kebenaran dan Kepalsuan.”
(baca 2: 185).
Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dengan
demikian, Ramadhan menjadi bulan mulia karena Al-Quran diturunkan di dalamnya.
Karena itu pula Rasulullah mengkaji Al-Quran (tadarus) bersama Jibril
sepanjang bulan Ramadhan. Beliau biasa menyimak dan memperhatikan maknanya,
membaca ulang, menghayati isinya, membuat hati beliau hadir dalam
situasi-situasinya dan memancarkan cinta beliau dalam kekayaan
perbendaharaannya. Orang yang membaca Al-Quran ketika berpuasa memadukan
Ramadhan dengan keanggungan Al-Quran. Karena itu ia menghidupkan bulan ini
dengan Al-Quran, yang di dalamnya antara lain Allah mengatakan: “(Inilah) kitab
penuh berkah (manfaat) yang diajarkan kepadamu (Muhammad), agar ayat-ayatnya
ditelaah, sehingga orang-orang yang pengetahuannya mendalam kelak hidup sadar
dengannya.
Di bulan Ramadhan, Al-Quran yang mulia mempunyai rasa
dan aroma khusus. Ia menawarkan ilham (inspirasi) istimewa dan kesadaran yang
berbeda. Di samping itu, ia masih juga menganugerahkan tenaga kehidupan
(vitalitas) yang segar. Ramadhan menghadirkan kembali kenangan saat-saat
pewahyuan Al-Quran, saat-saat hadirnya kebersamaan dalam pengkajiannya, dan
saat-saat para pendahulu kita mencurahkan perhatian terhadapnya. Rasulullah
pada suatu hari memberi nasihat, “Bacalah Al-Quran, karena ia benar-benar akan
menjadi pembela kalian di Hari Pengadilan.” Beliau juga mengatakan, “Manusia
terbaik di antara kalian adalah dia yang mempelajari dan mengajarkan Al-Quran.”
Dan, berkata pula beliau, “Bacalah dua bunga Al-Quran,
yaitu surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Keduanya akan datang sebagai dua gumpal
awan atau sebagai ‘payung’ dari kumpulan burung, yang akan menaungi para pembacanya
di Hari Pengadilan.” Rasulullah juga mengatakan, “Orang yang membaca Al-Quran
sehingga menjadi mahir, akan berdampingan dengan kalangan terhormat serta para
malaikat. Namun orang yang membacanya dengan terbata-bata, (masih juga)
mendapatkan dua imbalan (keuntungan).”
Ketika tiba bulan Ramadhan, para orangtua kita dulu
biasa membaca Al-Quran yang Agung. Konon, bila Ramadhan datang, Imam Malik tak
pernah lepas dari Al-Quran. Beliau berhenti mengajar dan mengeluarkan
fatwa-fatwa hukum, dengan menegaskan bahwa bulan ini adalah bulan Al-Quran.
Maka, rumah para orangtua kita dulu selalu dipenuhi dengung suara dari mereka
yang membaca Al-Quran. Rumah mereka bermandi cahaya, dan hati mereka penuh
dengan kebahagiaan. Mereka membaca Al-Quran dengan irama yang indah, terhenti
oleh keajaiban-keajaibannya, menangis karena peringatan-peringatannya,
berbahagia karena kabar-kabar gembiranya, menyambut perintah-perintahnya, dan
menghindari segala larangannya.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud suatu ketika
membacakan bagian awal surat An-Nisa untuk Rasulullah, hingga ia mencapai ayat
berisi pertanyaan, “Maka bagaimana bila Kami tampilkan dari setiap umat seorang
syahid, dan Kami tampilkan dirimu (Muhammad) sebagai syahid atas
mereka semua?” (4: 41).
Rasulullah menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud, dan
berkata, “Cukup sampai di situ dulu.” Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa ketika ia
menoleh ke arah Rasulullah, ia melihat wajah beliau basah oleh air mata. Tentu
saja, hanya pengagum Al-Quran yang bisa menangis ketika membacanya.
Menurut riwayat lain, Rasulullah suatu hari
mendengarkan Abu Musa membaca Al-Quran tanpa sang pembaca menyadari bahwa ia
sedang diperhatikan. Kemudian Rasulullah berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa aku
menyimak bacaanmu yang fasih? Suaramu tak ubahnya suara seruling Daud! Abu Musa
menjawab, “Bila aku tahu, ya Rasulullah, bahwa anda memperhatikanku, pastilah
akan lebih kufasihkan lagi bacaanku.”
Tentang kefasihan Abu Musa dalam membaca Al-Quran, ada
satu kisah bahwa Umar bin Khatthab setiap melihat Abu Musa hadir di tengah para
sahabat biasa mengatakan, “Hai Abu Musa, ingatkan kami kepada Tuhan kita. Abu
Musa lalu berdiri di hadapan mereka, membaca beberapa ayat Al-Quran dengan
kefasihannya, sehingga para sahabat pun menangis. Sungguh mendengarkan
kata-katanya menyebabkan saya menangis, karena mata saya seperti melihat Dia
hadir. Dia membacakan peringatan dari Tuhannya dan menghidupkan kerinduan
untuk bertemu dengannya, dan hati yang rindu pun menjadi semakin rindu.
Ketika generasi demi generasi berpaling dari
mendengarkan ayat-ayat Allah, pendengaran pun terpelintir, perilaku terjungkir
balik, dan pemahaman pun dilanda penyakit. Ketika Al-Quran digantikan dengan
sumber-sumber petunjuk yang lain, korupsi menjadi lazim, bencana berlipat
ganda, pengertian menjadi kacau, dan ketangguhan pun hilang. Tentu saja tujuan
pengajaran Al-Quran adalah untuk memberi manusia petunjuk hidup yang benar. Dia
adalah cahaya dan obat jiwa. Dia adalah ilmu, budaya, dan pembuktian. Al-Quran
adalah kehidupan, ruh, penyelamat, kebahagiaan, imbalan, dan kepuasan. Ia
adalah ajaran Allah, konstitusi, dan kebijaksanaan abadi.
Karena sejarah mencatat hanya dengan ajaran dalam al-quran
lah hati kita bisa bersih, mampu menyatukan hidup yang bermusuhan menjadi
damai, serta timbul rasa kasih sayang yang begitu tinggi, dan hidup yang
berkepedulian sesama manusia menjadi kebutuhan gerak bersama dalam
berkehidupan. Semoga ramadhaan kali ini bisa kita jadikan momentum untuk
mengkaji al-quran dan menjadikan nasehat-nasehatnya kesadaran hidup, dalam
upaya menciptakan kehidupan yang berkah (makmur lagi memakmurkan). Semoga.
Tulisan ini Pernah diterbitkan di Media Cetak/Koran
Tanjungpinang Pos Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar