Dalam keterpurukan, rakyat Indonesia tetap berlomba-lomba menyekolahkan
anak. Mereka yang kaya, tidak segan-segan mengeruk isi kocek jutaan sampai
miliaran, untuk memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan
bertaraf internasional dan terbaik, di dalam atau di luar negeri. Mereka yang
miskin, tak peduli walau kadang harus menggadaikan kepala, memaksa diri
berlomba supaya anak-anak mereka bisa ikut bersekolah. Bagi si kaya, bisa jadi
menyekolahkan anak di lembaga pendidikan formal adalah formalitas belaka.
Anak-anak mereka dikirim ke sekolah hanya untuk